Minggu, 01 Oktober 2017

Evaluasi Program Kampung Deret di Jakarta

Program Kampung Deret yang dimulai pada masa awal jabatan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo pada tahun 2013 sempat mendapat sambutan yang luas dari masyarakat, terutama masyarakat golongan bawah di Jakarta. Ada harapan program ini akan berkembang menjadi program yang dinanti warga untuk menuntaskan permasalahan permukiman kumuh di Jakarta. Namun sangat disayangkan program ini akhirnya berhenti setahun kemudian yaitu sekitar tahun 2014, setelah Presiden Joko Widodo diangkat.
Penerus Gubernur Jokowi, Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok, tidak melanjutkan program Kampung Deret, karena tampaknya lebih memilih penyediaan rusunawa dan menggusur warga permukiman kumuh untuk direlokasi ke rumah susun. Adanya temuan BPK soal pelepasan aset tanah negara dan lemahnya dukungan DPRD dalam persetujuan anggaran subsidi diperkirakan sebagai faktor-faktor yang semakin kuat menghentikan program Kampung Deret. Namun begitu, program ini masih menyisakan beberapa pertanyaan. Jika program ini mendapat sambutan masyarakat, bukankah memang ada sesuatu dari program yang memberi harapan? Jikapun ada beberapa kendala teknis, bukankah sebaiknya dievaluasi?
Berdasarkan evaluasi melalui analisis media dan observasi singkat di lapangan, dapat diperoleh beberapa pokok persoalan yang menggambarkan bagaimana pelaksanaan program Kampung Deret di lapangan, sebagaimana diuraikan berikut ini.
1. Fokus untuk Menata Permukiman Kumuh Informal
Sudah banyak program penataan permukiman kumuh perkotaan yang dilaksanakan di Indonesia, namun belum ada yang secara efektif menangani permukiman kumuh informal (ilegal), terutama permukiman di atas tanah negara. Selama puluhan tahun permukiman kumuh informal selalu dipandang sebagai wujud ketidak-tertiban semata. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bahkan memberi status “negative list” untuk jenis permukiman ini. Artinya, ini jenis permukiman yang tidak sesuai dengan peruntukan tata ruang. Tidak sesuai aturan, negatif, titik. Akibatnya pemerintah kota cukup memberi label negatif untuk permukiman kumuh informal di ruang-ruang sisa kota, dan hanya bisa membiarkannya tumbuh dan berkembang secara tidak terencana.
Proyek Kampung Deret di Petogogan dan Tambora, Jakarta, keduanya berada di atas tanah negara dan bertujuan menata permukiman informal. Menata permukiman kumuh informal seharusnya memang dipandang sebagai prioritas pemerintah dalam program penataan permukiman. Hal ini karena warga permukiman informal mengalami ketidakpastian menghuni yang tinggi (insecurity of tenure) dan terbentuk dari proses pembangunan permukiman kota yang tidak terencana dengan baik.
Untuk bisa menata permukiman kumuh informal Pemerintah Daerah sebenarnya perlu mendapatkan dukungan dari Pemerintah Pusat. Hal ini karena diperlukan berbagai skema yang rumit seperti pemetaan sosial (bukan sensus seperti selama ini dilakukan setiap kali hendak menggusur), pengorganisasian pemukiman kembali (resettlement), hingga pengembangan area-area permukiman baru. Kemampuan-kemampuan ini seharusnya dimiliki oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Namun sayangnya belum ada model penataan permukiman kumuh informal secara komprehensif yang disiapkan Pemerintah Pusat selain daftar panjang proyek-proyek kecil senilai 1-2 milyar rupiah yang terfragmentasi secara sempurna hingga mata anggaran satuan 3.
2. Menata Permukiman Kumuh tanpa Menggusur.
Sebagai dampak dari pembiaran yang lama, tidak sedikit pemerintah kota yang akhirnya jatuh pada pilihan penggusuran untuk menangani permukiman kumuh informal. Namun pelaksanaan proyek Kampung Deret di Jakarta justru dijalankan dengan tanpa menggusur. Hal inilah yang menyebabkan program ini mendapat sambutan dari warga, khususnya di lokasi penataan tersebut. Kampung deret merupakan hunian yang dibangun tanpa melakukan relokasi dari daerah asal ke daerah yang jauh.
3. Pendekatan Pemberian Bantuan.
Adanya fokus manangani permukiman informal dan tujuan menata permukiman kumuh tanpa menggusur tidak lantas membawa program Kampung Deret otomatis berjalan dengan baik tanpa hambatan. Hambatan itu mulai dijumpai akibat pendekatan yang digunakan adalah pemberian bantuan aneka rupa. Mulai dari tanah negara yang akan diberikan kepada warga, bantuan tukang untuk pembangunan rumah dan biaya pembangunan rumah senilai sekitar 54 juta rupiah yang juga dihibahkan kepada warga penghuni. Pendekatan karitatif seperti ini akhirnya menuai berbagai kendala. Mulai dari temuan BPK mengenai kasus pelepasan aset (tanah) negara, kelembagaan yang tumpang tindih antara pusat dan daerah dan antar sektor, hingga akhirnya tidak disetujuinya anggaran program oleh DPRD DKI Jakarta.
Sedangkan di tengah masyarakat muncul isu adanya warga yang menjual rumahnya ke pihak lain. Isu ini menjadi isu yang menonjol karena status tanah yang sudah jelas sebagai milik warga penerima bantuan, kondisi rumah yang sudah bagus dan lingkungan yang sudah lebih tertata sehigga menyebabkan harga tanah dan bangunan meningkat. Pendekatan bantuan yang berakhir sebagai aset-aset individual menyebabkan kelemahan program kampung deret seiring dengan menonjolnya individualisme warga dan tidak terbangunnya komunitas warga. Lemahnya peran pemerintah pusat dalam pengorganisasian dan pendampingan warga secara berkelompok untuk membangun rumah swadaya, menyebabkan banyak warga yang bersikap sendiri-sendiri terhadap aset yang dihibahkan pemerintah kepada mereka.
Langkah ke Depan
Sebagai hasil evaluasi singkat tersebut, dapat disimpulkan agar ke depannya, program Kampung Deret ini masih tetap potensial untuk dilanjutkan dengan beberapa perbaikan. Arah kebijakan untuk menyasar permukiman kumuh informal (squatter settlements) dan pilihan kebijakan “menata tanpa menggusur” sudah menempatkan program ini langsung berada di jalur yang benar sejak awal. Satu-satunya kekurangan program ini adalah menggunakan pendekatan bantuan dan sangat lemah dalam mekanisme kelembagaan dan anggaran. Kekurangan pendekatan inilah yang kiranya perlu diperbaiki dan diganti dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat.
Pendekatan pemberdayaan masyarakat jika dikembangkan secara konsisten dan konsekwen akan berimplikasi luas pada fitur-fitur program yang lainnya. Hal pertama yang segera dikoreksi adalah mekanisme belanja proyek tahunan yang berorientasi pada proyek-proyek fisik semata. Pendekatan pemberdayaan masyarakat menempatkan ukuran-ukuran keberdayaan masyarakat sebagai yang utama. Sedangkan ukuran penyediaan proyek fisik hanya bersifat mendukung. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat memerlukan kapasitas yang berbeda dengan penyediaan fisik prasarana permukiman semata. Kapasitas pemberdayaan masyarakat permukiman inilah yang pertama kali harus disiapkan oleh pemerintah. Dan ini sifatnya khusus untuk permukiman. Bukan pemberdayaan masyarakat untuk pertanian, usaha kecil, kependudukan dan sebagainya yang berbeda pendekatan dan langkahnya.
Pemberdayaan masyarakat bermakna luas pula, karena pengertian masyarakat di sini bukan hanya komunitas warga yang dijadikan sasaran penataan. Namun juga kelompok masyarakat lainnya seperti LSM, Universitas, Dunia Usaha, Pemerintah Daerah dan kelompok lainnya yang memiliki perhatian dan kepedulian terhadap program penatan permukiman kumuh. Sedangkan komunitas warga permukiman ditempatkan sebagai subjek pembangunan dan semakin meningkat keberdayaannya melalui pembentukan jejaring komunitas antara satu komunitas di suatu tempat dengn komunitas lainnya di tempat lain pula.
Secara nyata, ada beberapa bentuk fasilitasi yang perlu diorganisir untuk memberdayakan komunitas warga, yaitu;
(1) Dukungan pengorganisasian kelompok warga, termasuk membentuk kelompok tabungan perumahan. Juga dukungan dalam mengembangkan jejaring komunitas dan jejaring para-pihak yang seiring dengan peningkatan kapasitasnya.
Adanya sistem inter-organisasi seperti ini akan memberi legitimasi formal kepada keberadaan kelompok-kelompok perumahan, sehingga menjadi tumpuan dalam mengakses berbagai dukungan lainnya.
Dengan demikian akan terbangun sebuah sistem kegiatan Rumah Swadaya Berbasis Kelompok yang tidak lagi dilihat sebagai kegiatan proyek fisik biasa.
(2) Dukungan mendapat akses ke tanah tanpa harus berstatus tanah milik. Adanya legitimasi kegiatan dan instrumen Rumah Swadaya berbasis kelompok menimbulkan justifikasi untuk memperoleh hak-hak pakai tanah. Baik tanah masyarakat, tanah adat maupun (dan terutama) tanah-tanah milik negara.
(3) Dukungan penyediaan prasarana permukiman yang memang menjadi kewajiban pemerintah,
(4) Dukungan pinjaman kredit mikro untuk membangun rumah dengan cicilan yang rendah dan berjangka panjang,
(5) Pemberdayaan sosial dan ekonomi kelompok warga.
Semua bentuk dukungan tersebut tidak ada satupun yang sifatnya memberi bantuan (karitatif) kepada warga sebagaimana program Kampung Deret yang lama. Hal ini tidak membebani ketersediaan dana dan aset pemerintah. Peran pemerintah harus dikembangkan sebagai PEMBERDAYA atau ENABLER , dan bukan lagi sebagai pemberi bantuan atau penyedia prasarana fisik semata.
Di dalam pelaksanaannya, berbagai skema peraturan, kelembagaan dan pembiayaan perlu terus dikembangkan untuk menjamin terjadinya pemberdayaan melaluli berbagi dukungan fasilitasi tersebut. Di sini sekali lagi sangat diperlukan peran pemerintah pusat. Urusan perumahan dan permukiman adalah urusan yang tergolong kongkuren di antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi dan Daerah. Artinya diperlukan pembagian peran yang harmonis dan sinergis, dimana peran Pemerintah Pusat haruslah mampu membina dan membuat model penanganan yang komprehensif untuk dilaksanakan dan dijadikan acuan bagi Pemerintah Daerah.
Inilah bentuk dari sistem penyediaan Rumah Swadaya Berbasis Kelompok yang menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat, yang perlu dikembangkan dalam rangka menata permukiman kumuh informal di kota-kota metropolitan dan kota-kota besar di Indonesia.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar