Penyelesaian kasus hukum yang menimpa Ahok akibat dakwaan penodaan
agama tampaknya masih belum jelas ke mana akan bermuara. Lambatnya proses hukum
ini semakin menguatkan dugaan adanya pemihakan pemerintah kepada Ahok. Sepertinya
ada kebingungan di kalangan pendukung Ahok sehingga ada upaya untuk merekayasa
proses hukum secara tak kasat mata, seperti rencana membuka proses gelar
perkara yang biasanya tertutup, pemanggilan saksi ahli dari Mesir, dan
sebagainya. Sebuah analisis menyebutkan, jika Ahok sampai dipenjara dan gagal
jadi Gubernur Jakarta, maka ini berarti kemunduran luar biasa, baik bagi
kekuatan politik pendukungnya, juga bagi pimpinan tertentu di pemerintahan,
serta bisa pula berarti keruntuhan bisnis bagi para taipan pengembang yang
telah mengeluarkan investasi yang ditaksir senilai puluhan triliun rupiah. Sementara
fatwa jumhur ulama melalui MUI jelas menyatakan Ahok telah melakukan penistaan
agama Islam. Ketidakjelasan politik seperti ini tentunya bisa mengancam
stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara di tanah air.
Sebenarnya dakwaan penodaan agama yang dilakukan Ahok adalah
klimaks dari runtutan kesalahan yang panjang di belakangnya. Kesalahan fatal
pembangunan yang dipimpin Ahok di Jakarta adalah keberpihakannya terhadap
kelompok pengembang dengan proyek-proyek besarnya. Terutama kontroversi proyek
reklamasi 17 pulau di pantai utara Jakarta untuk kepentingan bisnis properti. Keberpihakan
ini sudah dimulai dari dukungan para taipan properti di tanah air terhadap
kelompok politik pemerintah yang sedang berkuasa, yang akhirnya mempengaruhi
berbagai kebijakan pembangunan di tanah air.
Mengapa taipan-taipan pengembang bisa begitu berkuasa di
Indonesia? Jawabannya adalah kebijakan pembiaran yang dijalankan pemerintah
dalam hal pembangunan kota-kota dan pengembangan kawasan permukiman. Bisa
dikatakan pemerintah menyerahkannya kepada mekanisme bisnis properti yang
dijalankan para pengembang. Bisnis properti pada dasarnya berbeda dengan bisnis
manufaktur yang lebih membutuhkan dedikasi dan ketekunan untuk membangun sebuah
kerajaan bisnis. Namun di tengah iklim yang membiarkan, bisnis properti penuh
dengan spekulasi untuk bisa mendapatkan value
gain yang tidak terkirakan. Di sinilah kesalahan kebijakan pemerintah
hingga saat ini, yaitu membiarkan praktek spekulasi nilai lahan di dalam bisnis
properti.
Akibatnya, para pengembang bisa mendikte arah perkembangan
tata ruang di lahan-lahan yang dimilikinya. Para taipan pengembang bisa berserikat
untuk menyusun rencana pembangunan dan melakukan lobi-lobi untuk mendapatkan
legitimasi pemerintah. Mereka bisa mengakumulasi keuntungan yang berlipat-lipat
melalui peningkatan nilai lahan yang dibiarkan tidak terkendali. Pada proyek
reklamasi pantai utara Jakarta, motif itulah yang dipertontonkan di hadapan
rakyat yang masih banyak susah hidupnya. Kekuatan lobi para taipan pengembang
pun bisa memasukkan kepentingannya melalui paket ekonomi ke-13 yaitu mengenai
kemudahan perizinan bisnis properti.
Di negara-negara Asia yang sudah lebih maju pembangunan kota-kota dan permukimannya seperti Jepang, Singapura, Taiwan, dan kini Korea Selatan, Malaysia dan China, peran pemerintah sangat kuat untuk mengendalikan nilai lahan (land value gain capture management). Di negara-negara tersebut, selalu pengembang publik yang memimpin setiap pembangunan kota atau pengembangan permukiman baru. Itulah konsep yang dikenal sebagai public sector led development yang sebenarnya sejalan dengan ruh pasal 33 UUD 1945 dan butir Nawacita mengenai hadirnya negara. Sedangkan para pengembang swasta berbaris rapi mengisi daftar investasi di kawasan yang telah disiapkan terlebih dahulu. Badan-badan publik yang kuat dan profesional seperti HDB dan URA di Singapura, UR di Jepang, KLHC di Korea Selatan, PKNS dan Iskandar Development Authority di Malaysia, adalah contoh dari penerapan konsep tersebut. Bisa dikatakan semua pengembang publik di negara-negara itu lebih kuat dari pengembang swastanya dan bisa secara efektif mengendalikan ruang untuk kepentingan sosial, ekonomi maupun lingkungan secara berkelanjutan.
Di negara-negara Asia yang sudah lebih maju pembangunan kota-kota dan permukimannya seperti Jepang, Singapura, Taiwan, dan kini Korea Selatan, Malaysia dan China, peran pemerintah sangat kuat untuk mengendalikan nilai lahan (land value gain capture management). Di negara-negara tersebut, selalu pengembang publik yang memimpin setiap pembangunan kota atau pengembangan permukiman baru. Itulah konsep yang dikenal sebagai public sector led development yang sebenarnya sejalan dengan ruh pasal 33 UUD 1945 dan butir Nawacita mengenai hadirnya negara. Sedangkan para pengembang swasta berbaris rapi mengisi daftar investasi di kawasan yang telah disiapkan terlebih dahulu. Badan-badan publik yang kuat dan profesional seperti HDB dan URA di Singapura, UR di Jepang, KLHC di Korea Selatan, PKNS dan Iskandar Development Authority di Malaysia, adalah contoh dari penerapan konsep tersebut. Bisa dikatakan semua pengembang publik di negara-negara itu lebih kuat dari pengembang swastanya dan bisa secara efektif mengendalikan ruang untuk kepentingan sosial, ekonomi maupun lingkungan secara berkelanjutan.
Di Indonesia, praktek pelemahan pengembang publik sudah
terjadi sejak tahun 1990-an, yang dibarengi dengan menguatnya
pengembang-pengembang swasta untuk langsung membuka lahan dan memimpin
spekulasi pembangunan kota-kota. Epicentrumnya ada di Jabodetabek, sebagai
wilayah dengan pertumbuhan urbanisasi tertinggi. Pemerintah membiarkan mereka
menguasai tanah perkebunan hingga beribu-ribu hektar (Serpong), lahan milik
kehutanan (Kapuk), angkatan laut (Gading) dan berbagai lokasi strategis
lainnya. Sedangkan pengembang publik dibiarkan semakin mengecil, hidup segan
mati tak mau. Sementara fiskal negara berpuluh-puluh triliun setiap tahun dihabiskan
untuk proyek-proyek prasarana kota dan permukiman yang tersebar-sebar tidak
terencana berbasis kawasan.
Melanjutkan pembiaran dominasi bisnis properti yang
spekulatif inilah kesalahan mendasar Ahok dan pemerintahan yang sekarang. Di
tengah arus urbanisasi yang tinggi dan kesusahan masyarakat golongan bawah
untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak dan terjangkau, berbagai konsesi properti
terus diberikan di Jakarta, Jabodetabek serta di kota-kota besar lainnya.
Terutama reklamasi di pantai utara Tangerang maupun Jakarta. Padahal justru seharusnya
pengendalian oleh pemerintah di Jabodetabek semakin kuat, mengingat
pengendalian urbanisasi adalah untuk kepentingan publik dan demi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Selain itu, penggusuran demi penggusuran yang dilakukan Ahok
seperti mendapat restu dari pemerintah pusat dan menjadi contoh yang ditiru pula
oleh kepala daerah lainnya. Padahal aksi tersebut telah menyengsarakan
beratus-ratus keluarga miskin di Jakarta. Tanpa disadarinya, keberpihakannya
pada para taipan properti dan aksi-aksi penggusuran tersebut telah membuat rasa
kebencian dari rakyat kecil dan para pegiat LSM semakin bertumpuk-tumpuk.
Menghadapi situasi yang berbahaya ini, pemerintah hendaknya tidak lagi berdiri memihak golongan politik tertentu, melainkan segera melakukan aksi-aksi kenegaraan yang adil dalam menegakkan hukum. Jika Ahok memang harus dihukum, maka relakanlah dia, demi hukum dan demi keadilan. Selanjutnya bagi para taipan pengembang properti di tanah air, tentunya tidak ingin mendapatkan serangan balik akibat langkah-langkahnya yang keliru karena ingin mendominasi pembangunan di tanah air. Pemerintah pun hendaknya menghentikan iklim pembiaran yang spekulatif, lalu segera mengambil alih dan memimpin pembangunan kota dan pengembangan kawasan permukiman dengan menyusun rencana yang matang, membuat landasan peraturan dan menunjuk lembaga-lembaga negara yang berkompeten untuk itu. Marilah kita jaga keutuhan bangsa ini dengan memperbaiki berbagai kekeliruan yang tidak perlu dan menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.
Menghadapi situasi yang berbahaya ini, pemerintah hendaknya tidak lagi berdiri memihak golongan politik tertentu, melainkan segera melakukan aksi-aksi kenegaraan yang adil dalam menegakkan hukum. Jika Ahok memang harus dihukum, maka relakanlah dia, demi hukum dan demi keadilan. Selanjutnya bagi para taipan pengembang properti di tanah air, tentunya tidak ingin mendapatkan serangan balik akibat langkah-langkahnya yang keliru karena ingin mendominasi pembangunan di tanah air. Pemerintah pun hendaknya menghentikan iklim pembiaran yang spekulatif, lalu segera mengambil alih dan memimpin pembangunan kota dan pengembangan kawasan permukiman dengan menyusun rencana yang matang, membuat landasan peraturan dan menunjuk lembaga-lembaga negara yang berkompeten untuk itu. Marilah kita jaga keutuhan bangsa ini dengan memperbaiki berbagai kekeliruan yang tidak perlu dan menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.
Dipublikasi di Medium Forum Kampung Kota, 20 November 2016