Rabu, 01 Februari 2017

Solusi untuk Ahok dan Pendukungnya

Penyelesaian kasus hukum yang menimpa Ahok akibat dakwaan penodaan agama tampaknya masih belum jelas ke mana akan bermuara. Lambatnya proses hukum ini semakin menguatkan dugaan adanya pemihakan pemerintah kepada Ahok. Sepertinya ada kebingungan di kalangan pendukung Ahok sehingga ada upaya untuk merekayasa proses hukum secara tak kasat mata, seperti rencana membuka proses gelar perkara yang biasanya tertutup, pemanggilan saksi ahli dari Mesir, dan sebagainya. Sebuah analisis menyebutkan, jika Ahok sampai dipenjara dan gagal jadi Gubernur Jakarta, maka ini berarti kemunduran luar biasa, baik bagi kekuatan politik pendukungnya, juga bagi pimpinan tertentu di pemerintahan, serta bisa pula berarti keruntuhan bisnis bagi para taipan pengembang yang telah mengeluarkan investasi yang ditaksir senilai puluhan triliun rupiah. Sementara fatwa jumhur ulama melalui MUI jelas menyatakan Ahok telah melakukan penistaan agama Islam. Ketidakjelasan politik seperti ini tentunya bisa mengancam stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara di tanah air.

Sebenarnya dakwaan penodaan agama yang dilakukan Ahok adalah klimaks dari runtutan kesalahan yang panjang di belakangnya. Kesalahan fatal pembangunan yang dipimpin Ahok di Jakarta adalah keberpihakannya terhadap kelompok pengembang dengan proyek-proyek besarnya. Terutama kontroversi proyek reklamasi 17 pulau di pantai utara Jakarta untuk kepentingan bisnis properti. Keberpihakan ini sudah dimulai dari dukungan para taipan properti di tanah air terhadap kelompok politik pemerintah yang sedang berkuasa, yang akhirnya mempengaruhi berbagai kebijakan pembangunan di tanah air.

Mengapa taipan-taipan pengembang bisa begitu berkuasa di Indonesia? Jawabannya adalah kebijakan pembiaran yang dijalankan pemerintah dalam hal pembangunan kota-kota dan pengembangan kawasan permukiman. Bisa dikatakan pemerintah menyerahkannya kepada mekanisme bisnis properti yang dijalankan para pengembang. Bisnis properti pada dasarnya berbeda dengan bisnis manufaktur yang lebih membutuhkan dedikasi dan ketekunan untuk membangun sebuah kerajaan bisnis. Namun di tengah iklim yang membiarkan, bisnis properti penuh dengan spekulasi untuk bisa mendapatkan value gain yang tidak terkirakan. Di sinilah kesalahan kebijakan pemerintah hingga saat ini, yaitu membiarkan praktek spekulasi nilai lahan di dalam bisnis properti.

Akibatnya, para pengembang bisa mendikte arah perkembangan tata ruang di lahan-lahan yang dimilikinya. Para taipan pengembang bisa berserikat untuk menyusun rencana pembangunan dan melakukan lobi-lobi untuk mendapatkan legitimasi pemerintah. Mereka bisa mengakumulasi keuntungan yang berlipat-lipat melalui peningkatan nilai lahan yang dibiarkan tidak terkendali. Pada proyek reklamasi pantai utara Jakarta, motif itulah yang dipertontonkan di hadapan rakyat yang masih banyak susah hidupnya. Kekuatan lobi para taipan pengembang pun bisa memasukkan kepentingannya melalui paket ekonomi ke-13 yaitu mengenai kemudahan perizinan bisnis properti.

Di negara-negara Asia yang sudah lebih maju pembangunan kota-kota dan permukimannya seperti Jepang, Singapura, Taiwan, dan kini Korea Selatan, Malaysia dan China, peran pemerintah sangat kuat untuk mengendalikan nilai lahan (land value gain capture management). Di negara-negara tersebut, selalu pengembang publik yang memimpin setiap pembangunan kota atau pengembangan permukiman baru. Itulah konsep yang dikenal sebagai public sector led development yang sebenarnya sejalan dengan ruh pasal 33 UUD 1945 dan butir Nawacita mengenai hadirnya negara. Sedangkan para pengembang swasta berbaris rapi mengisi daftar investasi di kawasan yang telah disiapkan terlebih dahulu. Badan-badan publik yang kuat dan profesional seperti HDB dan URA di Singapura, UR di Jepang, KLHC di Korea Selatan, PKNS dan Iskandar Development Authority di Malaysia, adalah contoh dari penerapan konsep tersebut. Bisa dikatakan semua pengembang publik di negara-negara itu lebih kuat dari pengembang swastanya dan bisa secara efektif mengendalikan ruang untuk kepentingan sosial, ekonomi maupun lingkungan secara berkelanjutan.

Di Indonesia, praktek pelemahan pengembang publik sudah terjadi sejak tahun 1990-an, yang dibarengi dengan menguatnya pengembang-pengembang swasta untuk langsung membuka lahan dan memimpin spekulasi pembangunan kota-kota. Epicentrumnya ada di Jabodetabek, sebagai wilayah dengan pertumbuhan urbanisasi tertinggi. Pemerintah membiarkan mereka menguasai tanah perkebunan hingga beribu-ribu hektar (Serpong), lahan milik kehutanan (Kapuk), angkatan laut (Gading) dan berbagai lokasi strategis lainnya. Sedangkan pengembang publik dibiarkan semakin mengecil, hidup segan mati tak mau. Sementara fiskal negara berpuluh-puluh triliun setiap tahun dihabiskan untuk proyek-proyek prasarana kota dan permukiman yang tersebar-sebar tidak terencana berbasis kawasan.

Melanjutkan pembiaran dominasi bisnis properti yang spekulatif inilah kesalahan mendasar Ahok dan pemerintahan yang sekarang. Di tengah arus urbanisasi yang tinggi dan kesusahan masyarakat golongan bawah untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak dan terjangkau, berbagai konsesi properti terus diberikan di Jakarta, Jabodetabek serta di kota-kota besar lainnya. Terutama reklamasi di pantai utara Tangerang maupun Jakarta. Padahal justru seharusnya pengendalian oleh pemerintah di Jabodetabek semakin kuat, mengingat pengendalian urbanisasi adalah untuk kepentingan publik dan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selain itu, penggusuran demi penggusuran yang dilakukan Ahok seperti mendapat restu dari pemerintah pusat dan menjadi contoh yang ditiru pula oleh kepala daerah lainnya. Padahal aksi tersebut telah menyengsarakan beratus-ratus keluarga miskin di Jakarta. Tanpa disadarinya, keberpihakannya pada para taipan properti dan aksi-aksi penggusuran tersebut telah membuat rasa kebencian dari rakyat kecil dan para pegiat LSM semakin bertumpuk-tumpuk.

Menghadapi situasi yang berbahaya ini, pemerintah hendaknya tidak lagi berdiri memihak golongan politik tertentu, melainkan segera melakukan aksi-aksi kenegaraan yang adil dalam menegakkan hukum. Jika Ahok memang harus dihukum, maka relakanlah dia, demi hukum dan demi keadilan.  Selanjutnya bagi para taipan pengembang properti di tanah air, tentunya tidak ingin mendapatkan serangan balik akibat langkah-langkahnya yang keliru karena ingin mendominasi pembangunan di tanah air. Pemerintah pun hendaknya menghentikan iklim pembiaran yang spekulatif, lalu segera mengambil alih dan memimpin pembangunan kota dan pengembangan kawasan permukiman dengan menyusun rencana yang matang, membuat landasan peraturan dan menunjuk lembaga-lembaga negara yang berkompeten untuk itu. Marilah kita jaga keutuhan bangsa ini dengan memperbaiki berbagai kekeliruan yang tidak perlu dan menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.


Dipublikasi di Medium Forum Kampung Kota, 20 November 2016


Dua Tahun Perumahan Rakyat di Bawah Pemerintahan Jokowi-JK

Catatan Perumahan Rakyat di awal pemerintahan Jokowi-JK pada akhir tahun 2014 sudah diramaikan oleh pembubaran kembali Kementerian Perumahan Rakyat yang kemudian digabung dengan Kementerian PU sehingga menjadi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera atau PUPR). Di masa pemerintahan Soeharto, urusan Perumahan Rakyat menjadi salah satu pilar pembangunan di bidang kesejahteraan (sandang, pangan dan papan/pera) sehingga kelembagaan kementerian sangat stabil (1978-1998). Namun di era reformasi, kementerian ini berulangkali dibentuk dan dibubarkan. Meskipun urusan Perumahan Rakyat tetap ada, tapi keberadaannya jelas turun tingkat karena tidak memiliki Kementerian tersendiri. Padahal target merumahkan seluruh rakyat secara layak sebagai amanat UUD 1945 pasal 28H semakin jauh dari terpenuhi dengan semakin membengkaknya angka housing backlog. Dari data Sensus BPS, jika pada tahun 2000 ada 4,3 juta unit housing backlog, maka pada tahun 2010 membengkak menjadi 13,5 juta (13.505.866) unit.
Diturunkannya kelembagaan untuk menangani urusan Perumahan Rakyat di hadapan masih terus membengkaknya angka housing backlog sudah menunjukkan sebuah paradoks pembangunan di masa pemerintahan Jokowi-JK. Namun paradoks ini sepertinya ingin dipermak dengan mempertanyakan dan bahkan mengutak-atik data housing backlog yang ada. Pada awal 2015 dikeluarkan data baru angka housing backlog 7,6 juta unit berdasarkan kepenghunian (Perpres No.2 Tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019), dan menyebutkan angka housing backlog 13,5 juta itu adalah berdasarkan kepemilikan. Mungkin dikiranya dengan adanya angka housing backlog yang baru (7,6 juta unit) itu, nuansa paradoks dalam urusan Perumahan Rakyat agak sedikit terobati. Padahal data baru tersebut sama sekali tidak merubah fakta yang tetap menunjukkan kondisi darurat Perumahan Rakyat. Masyarakat miskin dan berpendapatan rendah masih menghadapi kesulitan yang besar untuk bisa memenuhi hak dasar akan tempat tinggal yang layak dan terjangkau, terutama di kota-kota besar.
Apakah memang bisa demikian? Sebenarnya angka 13,5 juta (13.505.866) housing backlog (Sensus BPS 2010) diperoleh dari selisih jumlah rumah tangga total (61.390.300) dan jumlah rumah tangga yang tinggal di rumah milik sendiri (owner occupied house) yaitu sebanyak 47.884.434 ruta. Meskipun belum terlalu presisi, namun angka ini tidak terlalu salah, karena menunjukkan fenomena makro kebutuhan perumahan rakyat. Asumsinya, untuk sementara mereka yang tinggal di rumahnya sendiri tidak mengalami masalah. Mereka sudah memiliki secure tenure yang menjadi modal dasar untuk tumbuhnya kepedulian untuk terus meningkatkan kualitas rumahnya.
Sedangkan yang 13,5 juta, masalahnya bervariasi, dari rumah tangga yang tinggal di permukiman kumuh, permukiman ilegal, mereka yang menyewa tanah untuk dibangun rumah, menyewa rumah, mengontrak atau menumpang dan masih banyak sekali jenis-jenis penghuniannya. Baik yang formal dan terutama yang infomal, jelas-jelas menunjukkan kebutuhan rumah. Angka ini menunjukkan mereka yang bermasalah dengan menyewa, mengontrak atau menumpang! Mereka yang terpaksa pindah kontrakan mencari yang lebih murah, mereka yang terpaksa pindah kos-kosan ke tempat yang lebih jauh, mereka yang ngemplang uang sewa akibat tidak mampu, mereka yang terus "ngegondeli" rumah orangtuanya, dan mereka yang menyewa di rumah yang tidak layak, dsb. Apa mereka ini semuanya tidak dihitung housing backlog? Hanya karena mereka dianggap belum tentu membutuhkan rumah milik?
Mereka secara umum memang kekurangan rumah yang layak untuk dihuni. Mereka membutuhkan rumah-rumah sewa murah yang layak dan rumah milik yang mampu mereka jangkau. Mungkin ada sedikit yang tidak bermasalah dari golongan menengah atas yang mengontrak rumah atau apartemen mewah. Golongan ini memang tidak layak dihitung sebagai housing backlog, namun diperkirakan jumlahnya sangat sedikit. Memang sebaiknya ada survey lebih rinci yang menanyakan para penyewa rumah ini, apakah jika ada rumah sewa yang lebih layak dan lebih terjangkau dan berada di lokasi yang lebih strategis, mereka akan berminat? Inilah survey menggunakan metoda well informed choices yang patut dijalankan di setiap daerah perkotaan. Adanya data yang lebih rinci ini tidak mengurangi pentingnya data angka housing backlog nasional tersebut sebagai gambaran makro.
Kesimpulannya, data housing backlog 13,5 juta itu masih sangat relevan dijadikan acuan makro kebutuhan perumahan rakyat. Baik yang dihitung di dalamnya rumah-rumah yang lokasinya di permukiman kumuh maupun mereka yang belum memiliki rumah karena menyewa atau mengontrak. Juga tidak perlu diembel-embeli dengan angka backlog kepemilikan, karena memang bukan berarti mereka harus memiliki rumah. Yang salah itu justru memberi embel-embel backlog kepemilikan, karena mengarahkan pada respon kebijakannya adalah menyediakan program rumah milik sebanyak 13,5 juta unit. Padahal selain program rumah milik, justru yang perlu dikembangkan adalah program rumah sewa yang layak dan terjangkau di perkotaan.
Lalu bagaimana dengan angka housing backlog 7,6 juta unit (berdasarkan kepenghunian) di dalam RPJMN itu, yang kesannya hanya ingin menutup-nutupi parahnya pembengkakan kekurangan rumah di tanah air? Ternyata angka ini lebih tidak jelas dan sangat kasar, karena dihitung berdasarkan jumlah keluarga dikurangi jumlah bangunan rumah di seluruh Indonesia. Padahal pada kenyataannya tidak ada itu 7,6 juta keluarga yang "keleleran" yang tidak punya rumah. Juga tidak seluruhnya satu keluarga tinggal di satu rumah. Apalagi jika perhitungan backlog penghunian tersebut maksudnya setiap keluarga tidak diwajibkan untuk memiliki rumah, dan bisa menghuni dengan cara sewa/kontrak, justru semakin tidak jelas karena sumber datanya sendiri sangat kasar dan tidak ada menunjukkan berapa yang milik, berapa yang sewa, dan sebagainya.
Jadi angka housing backlog 7,6 juta ini tidak perlu dan justru bisa menyesatkan! Sebaiknya angka housing backlog yang 13,5 juta itu tetap digunakan saja untuk memberi gambaran kebutuhan perumahan secara makro. Apalagi sensus berikutnya baru diadakan pada 2020, dan sangat bisa menunjukkan tren pembengkakan housing backlog yang sebenarnya, sebagaimana pembengkakan dari tahun 2000 ke tahun 2010 itu!
Lebih jauh, data membengkaknya housing backlog yang hendak ditutup-tutupi itu sebenarnya menunjukkan bahwa urbanisasi di kota-kota besar di tanah air masih belum bisa dikelola secara berkelanjutan. Ekonomi kota bertumbuh, golongan menengah atas semakin kaya, namun belum mampu dikelola secara berkeadilan dan seimbang antara pertumbuhan dan pemerataan. Akibatnya kaum pendatang dari golongan miskin dan berpendapatan rendah semakin banyak dan semakin tidak mampu menjangkau tempat tinggal yang layak. Mereka terpaksa tinggal di lingkungan yang bukan haknya dan tata ruang yang bukan peruntukannya. Dari kondisi seperti Itulah angka housing backlog itu muncul!
Artinya, menangani masalah Perumahan Rakyat juga berarti membenahi pengelolaan pembangunan kota. Pemerintah tidak bisa hanya memperhatikan pembangunan ekonomi kota dan meniadakan kaum miskin kota hanya dengan isu ketertiban dan aspek legal semata, dan menikmati pertumbuhan kota hanya untuk segelintir kelompok menengah dan atas, termasuk aparat pemerintah kotanya. Berani mengelola pertumbuhan kota berarti berani mengelola kebutuhan kaum pendatang dan memberdayakan mereka. Termasuk menyediakan berbagai pilihan tempat tinggal yang layak dan terjangkau bagi golongan bawah dan miskin kota.
Itulah makna angka housing backlog itu, yang seperti alarm dihidupkan setiap 10 tahun sekali oleh BPS untuk mengevaluasi arah kebijakan dalam pembangunan kota dan penyediaan perumahan rakyat. Bukan pula angka housing backlog itu dipakai hanya untuk menetapkan besaran angka-angka proyek perumahan sebagai justifikasi penggelontoran belanja anggaran negara. Dan pembahasan ini belum menyentuh proyek-proyek itu, seperti rumah susun sewa, bedah rumah, kredit rumah bersubsidi, bantuan prasarana umum, dsb, yang seharusnya bisa menjawab permasalahan Perumahan Rakyat yang sebenarnya dihadapi rakyat. Jika di hulu perencanaan saja sudah salah kaprah, maka tidak mengherankan jika program Perumahan Rakyat nanti tidak akan bisa menjawab kebutuhan rakyat secara efektif.
UN-Habitat (lembaga PBB di bidang perumahan, permukiman dan perkotaan) menyebutkan bahwa hanya ada dua golongan negara, yaitu pertama, negara-negara yang sudah memiliki strategi dan berada di jalan yang benar dalam memenuhi perumahan rakyat menuju pengurangan housing backlog secara berarti dan menata kota-kotanya menuju kota yang berkelanjutan. Kedua, negara-negara yang masih berada di jalan kegelapan dalam urusan ini. Golongan negara kedua ini pun ada yang tetap tidak menyadari kondisinya dan suka merekayasa data dan terus melakukan pencitraan di forum-forum internasional. Namun ada pula negara-negara yang yang terus melakukan pembelajaran dan berusaha keras untuk keluar dari perangkap urbanisasi.
Tampaknya Perumahan Rakyat di Indonesia hingga 2 tahun masa pemerintahan Jokowi-JK ini masih belum keluar dari perangkap urbanisasi yang tak kunjung mampu dikelola dengan baik itu. Perumahan Rakyat juga belum bisa menemukan arah kebijakannya secara terpadu dengan Pembangunan Kota (Housing and Urban Development) Akibatnya, angka housing backlog terus membengkak dan begitu juga permukiman kumuh perkotaan yang terus bertambah. Sedangkan beberapa kepala daerahnya seperti putus asa dan lebih memilih melakukan penggusuran demi penggusuran.


Dipublikasi di 
TRANSINDONESIA.CO, 21 October 2016