Minggu, 24 Juli 2016

Politisasi Bantuan Perumahan Swadaya ?


Di dalam sebuah acara Rapat Koordinasi Perumahan Rakyat Tahun 2014, diperoleh informasi mengenai program perumahan swadaya yang dijalankan Kementerian Perumahan Rakyat. Dari alokasi Dipa tahun 2014, total alokasi anggaran untuk program bantuan perumahan swadaya sebesar mendekati 2 Triliun rupiah. Hampir semua diarahkan untuk kegiatan nomor 3792, yaitu bantuan stimulasi peningkatan kualitas perumahan swadaya untuk 200.000 unit rumah tidak layak huni, dengan anggaran sebesar total 1.926.204.400.000 rupiah atau hampir 2 triliun rupiah.
Dari alokasi tersebut, untuk rumah tidak layak huni Kondisi Berat diberikan 15.000.000 rupiah per unit sebanyak 20.000 unit rumah, untuk rumah tidak layak huni Kondisi Sedang diberikan 7.500.000 rupiah per unit sebanyak 175.000 unit rumah, dan untuk rumah tidak layak huni Lokasi Khusus diberikan 30.000.000 rupiah per unit sebanyak 5.000 unit rumah.
Rancangan program perumahan swadaya tersebut mendapat banyak komentar, masukan maupun kritik dari para peserta rapat. Ada banyak pokok persoalan yang mengundang perdebatan sengit, baik dalam hal pilihan kebijakan dan strategi di hulu maupun dalam hal mekanisme operasionalisasi dan evaluasi di lapangan.
Pertama adalah soal keswadayaan masyarakat dalam penyediaan rumah yang menjadi tujuan program tersebut. Aspirasi daerah-daerah menunjukkan minat yang tinggi untuk mendapatkan program yang dinamai Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) tersebut sehingga selalu meminta tambahan alokasi anggaran dan jumlah unit BSPS. Yang menjadi pertanyaan, bukan-kah permintaan tambahan program ini bisa diartikan keswadayaan yang semakin menurun? Demikian pula sebaliknya, bukankah jika semakin tidak menginginkan program berarti positif, yaitu indikasi semakin meningkatnya keswadayaan masyarakat di daerah tersebut? Yang jelas, fenomena ini menunjukkan program BSPS tersebut memang diminati oleh para elit di daerah, baik elit di pemerintahan maupun elit politisi.
Namun persoalan tingkat keswadayaan masyarakat masih belum mendapat penjelasan yang memadai. Padahal tingkat keswadayaan yang menjadi tujuan sebenarnya dari program ini tidak dijumpai dalam pengembangannya lebih jauh di dalam perangkat evaluasi kinerja program. Seperti apakah yang dimaksud dengan keswadayaan di sini? Apakah paket bantuan BSPS berhasil meningkatkan keswadayaan dari si penerima manfaat? Artinya, program BSPS ini diluncurkn begitu saja tanpa adanya perangkat evaluasi mengenai tujuan program ini sendiri.
Persoalan kedua adalah dari sisi kebijakan bantuan untuk rumah tidak layak huni. Ternyata ada banyak kementerian yang menjalankan program sejenis. Selain Kementerian Perumahan Rakyat, program sejenis dijalankan oleh Kementerian Sosial yang namanya Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni. Demikian pula ada program sejenis di Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kondisi seperti ini menunjukkan adanya ketidakjelasan kebijakan dan penugasan lembaga pemerintah. Akibatnya terjadi tumpang tindih program-program sejenis, yang selain menunjukkan tidak adanya arah kebijakan yang jelas, juga mengganggu evaluasi program, ketika terjadi tumpang tindih klaim pada objek rumah yang sama.
Di sisi lain, cukup mengherankan juga, mengapa program bantuan seperti ini begitu diminati banyak kementerian sekaligus? Apakah karena skema program yang dipandang cukup sederhana meskipun seharusnya tidak demikian sehingga mudah ditiru dan bisa langsung digelontorkan? Apakah karena ada tujuan-tujuan lainnya di balik itu, seperti tujuan-tujuan politis?
Persoalan ketiga adalah dari sisi kebijakan fiskal. Bagaimana sebenarnya kebijakan fiskal untuk bantuan BSPS? Kebijakan fiskal yang berisi anggaran belanja dan pendapatan keuangan negara seharusnya memberi batasan alokasi yang jelas untuk bantuan BSPS. Keuangan negara tidak bisa diberikan begitu saja kepada masyarakat. Harus ada justifikasi sosial (kemiskinan) dan pembatasan alokasi anggarannya.
Namun pada prakteknya, kebijakan fiskal bantuan kemiskinan untuk program BSPS ini tidak begitu jelas jika melihat pertumbuhan alokasi BSPS yang meningkat sangat luar biasa. Dari target rencana strategis sebanyak 50.000 unit rumah selama lima tahun (2009-2014) hingga tahun 2014 akan disalurkan total sebanyak 677.000 unit lebih, yang berarti terjadi kenaikan lebih dari 1300 %. Kenaikan setiap tahunnya juga sangat luar biasa pada tahun 2014, yaitu dari semula sekitar 30 ribuan unit pada tahun 2009, kemudian meningkat menjadi 200.000 unit pada tahun 2014. Kenaikan yang sangat pesat ini tentunya menimbulkan pertanyaan yang mendasar, bagaimana sebenarnya kebijakan fiskal untuk bantuan sosial di tanah air? Lebih jauh, apa ada tujuan-tujuan politis yang terselubung di balik program ini?
Persoalan keempat, dari sisi mekanisme pelaksanaan dan evaluasi program yang sangat tidak jelas. Pertama-tama adalah tidak ada kejelasan instrumen apa yang digunakan untuk menentukan daerah mana yang berhak mendapat program, berapa ratus atau berapa ribu alokasi unit di setiap daerah, dan rumah siapa-siapa saja yang berhak mendapat program? Namun tanpa proses yang akuntabel kesemuanya ditetapkan melalui surat-surat keputusan Menteri. Berbeda dengan program BLT yang cukup jelas kriteria penerimanya, program BSPS ini tidak memiliki mekanisme tersebut. Akibatnya timbul iklim spekulatif yang memberi peluang yang sangat besar untuk menyimpangkan program ini.
Persoalan kelima, inefektifitas program perumahan swadaya. Dari uraian-uraian persoalan yang menyelimuti program BSPS yang ternyata berhasil membobol anggaran negara hingga triliunan rupiah tanpa akuntabilitas tersebut, bisa dilihat sebagai penyimpangan tujuan perumahan swadaya itu sendiri. Tujuan keswadayaan sebagaimana diamanatkan Pasal 21 Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP no. 1 Tahun 2011) yang menyebutkan bahwa rumah swadaya diselenggarakan atas prakarsa masyarakat secara berkelompok, selalu diabaikan. Padahal perumahan swadaya berbasis pemberdayaan kelompok adalah yang utama dari sistem perumahan swadaya itu sendiri.
Sedangkan skema bedah rumah yang sifatnya orang-perorang itu pada dasarnya adalah skema karitatif (bantuan sosial) yang mem-bebani fiskal negara sehingga seharusnya sangat dibatasi. Namun sangat mengherankan, mengapa skema bansos ini begitu disenangi dan didukung dengan gelontoran anggaran secara besar-besaran? Akibatnya, sistem perumahan swadaya berbasis pember-dayaan kelompok tidak kunjung berkembang hingga sekarang, yang akhirnya berdampak pada rendah atau tidak adanya dukungan perumahan swadaya untuk mengurangi angka housing backlog dan luasan permukiman kumuh.
Sebagai langkah ke depan, Perumahan Swadaya Berbasis Kelompok harus menjadi program prioritas dan lebih menyasar keberdayaan komunitas melalui pembangunan perumahan dan permukimannya. Artinya, perumahan swadaya adalah instrumen penting pemberdayaan komunitas. Pendekatan ini mendudukkan masyarakat sebagai subyek, yaitu pelaku pembangunan di bidang perumahan bukan sebagai obyek atau sekedar konsumen. Untuk penyediaan program secara efektif, Perumahan Swadaya Berbasis Kelompok mensyaratkan adanya basis data yang akurat mengenai kelompok masyarakat yang paling bermasalah dalam hal perumahan dan permukimannya; Intervensi pada sumber-sumberdaya kunci dalam hal perolehan tanah, perijinan, pengembangan kawasan dan penyediaan biaya; dan penyediaan sistem kelembagaan dan sistem pendanaan yang sesuai.
Memperhatikan beberapa kriteria tersebut, maka prioritasnya harus diarahkan pada komunitas-komunitas di lokasi-lokasi permukiman kumuh maupun squatter di kota-kota metropolitan dan kota-kota besar. Selain itu, ada pula komunitas-komunitas yang berbasis tempat kerja (work-based housing), yaitu mereka dari kalangan pekerja kelas bawah perkotaan, para pekerja pabrik, mereka yang memiliki industri rumah-tangga, dan mereka yang memiliki kesamaan pekerjaan di perkotaan seperti pengemudi.




***