Di dalam sebuah acara Rapat Koordinasi
Perumahan Rakyat Tahun 2014, diperoleh informasi mengenai program perumahan
swadaya yang dijalankan Kementerian Perumahan Rakyat. Dari alokasi Dipa tahun
2014, total alokasi anggaran untuk program bantuan perumahan swadaya sebesar
mendekati 2 Triliun rupiah. Hampir semua diarahkan untuk kegiatan nomor 3792,
yaitu bantuan stimulasi peningkatan kualitas perumahan swadaya untuk 200.000
unit rumah tidak layak huni, dengan anggaran sebesar total 1.926.204.400.000
rupiah atau hampir 2 triliun rupiah.
Dari alokasi tersebut, untuk rumah tidak
layak huni Kondisi Berat diberikan 15.000.000 rupiah per unit sebanyak 20.000
unit rumah, untuk rumah tidak layak huni Kondisi Sedang diberikan 7.500.000
rupiah per unit sebanyak 175.000 unit rumah, dan untuk rumah tidak layak huni
Lokasi Khusus diberikan 30.000.000 rupiah per unit sebanyak 5.000 unit rumah.
Rancangan program perumahan swadaya
tersebut mendapat banyak komentar, masukan maupun kritik dari para peserta
rapat. Ada banyak pokok persoalan yang mengundang perdebatan sengit, baik dalam
hal pilihan kebijakan dan strategi di hulu maupun dalam hal mekanisme
operasionalisasi dan evaluasi di lapangan.
Pertama
adalah soal keswadayaan masyarakat dalam penyediaan rumah yang menjadi tujuan
program tersebut. Aspirasi daerah-daerah menunjukkan minat yang tinggi untuk
mendapatkan program yang dinamai Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS)
tersebut sehingga selalu meminta tambahan alokasi anggaran dan jumlah unit
BSPS. Yang menjadi pertanyaan, bukan-kah permintaan tambahan program ini bisa
diartikan keswadayaan yang semakin menurun? Demikian pula sebaliknya, bukankah
jika semakin tidak menginginkan program berarti positif, yaitu indikasi semakin
meningkatnya keswadayaan masyarakat di daerah tersebut? Yang jelas, fenomena
ini menunjukkan program BSPS tersebut memang diminati oleh para elit di daerah,
baik elit di pemerintahan maupun elit politisi.
Namun persoalan tingkat keswadayaan
masyarakat masih belum mendapat penjelasan yang memadai. Padahal tingkat
keswadayaan yang menjadi tujuan sebenarnya dari program ini tidak dijumpai
dalam pengembangannya lebih jauh di dalam perangkat evaluasi kinerja program.
Seperti apakah yang dimaksud dengan keswadayaan di sini? Apakah paket bantuan
BSPS berhasil meningkatkan keswadayaan dari si penerima manfaat? Artinya,
program BSPS ini diluncurkn begitu saja tanpa adanya perangkat evaluasi
mengenai tujuan program ini sendiri.
Persoalan kedua adalah dari sisi kebijakan bantuan untuk rumah tidak layak
huni. Ternyata ada banyak kementerian yang menjalankan program sejenis. Selain
Kementerian Perumahan Rakyat, program sejenis dijalankan oleh Kementerian
Sosial yang namanya Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni. Demikian pula
ada program sejenis di Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kondisi seperti ini menunjukkan adanya
ketidakjelasan kebijakan dan penugasan lembaga pemerintah. Akibatnya terjadi
tumpang tindih program-program sejenis, yang selain menunjukkan tidak adanya
arah kebijakan yang jelas, juga mengganggu evaluasi program, ketika terjadi
tumpang tindih klaim pada objek rumah yang sama.
Di sisi lain, cukup mengherankan juga, mengapa
program bantuan seperti ini begitu diminati banyak kementerian sekaligus?
Apakah karena skema program yang dipandang cukup sederhana meskipun seharusnya
tidak demikian sehingga mudah ditiru dan bisa langsung digelontorkan? Apakah
karena ada tujuan-tujuan lainnya di balik itu, seperti tujuan-tujuan politis?
Persoalan ketiga adalah dari sisi kebijakan fiskal. Bagaimana sebenarnya
kebijakan fiskal untuk bantuan BSPS? Kebijakan fiskal yang berisi anggaran
belanja dan pendapatan keuangan negara seharusnya memberi batasan alokasi yang
jelas untuk bantuan BSPS. Keuangan negara tidak bisa diberikan begitu saja
kepada masyarakat. Harus ada justifikasi sosial (kemiskinan) dan pembatasan
alokasi anggarannya.
Namun pada prakteknya, kebijakan fiskal
bantuan kemiskinan untuk program BSPS ini tidak begitu jelas jika melihat
pertumbuhan alokasi BSPS yang meningkat sangat luar biasa. Dari target rencana
strategis sebanyak 50.000 unit rumah selama lima tahun (2009-2014) hingga tahun
2014 akan disalurkan total sebanyak 677.000 unit lebih, yang berarti terjadi
kenaikan lebih dari 1300 %. Kenaikan setiap tahunnya juga sangat luar biasa
pada tahun 2014, yaitu dari semula sekitar 30 ribuan unit pada tahun 2009,
kemudian meningkat menjadi 200.000 unit pada tahun 2014. Kenaikan yang sangat
pesat ini tentunya menimbulkan pertanyaan yang mendasar, bagaimana sebenarnya
kebijakan fiskal untuk bantuan sosial di tanah air? Lebih jauh, apa ada
tujuan-tujuan politis yang terselubung di balik program ini?
Persoalan keempat, dari sisi mekanisme pelaksanaan dan evaluasi program yang
sangat tidak jelas. Pertama-tama adalah tidak ada kejelasan instrumen apa yang
digunakan untuk menentukan daerah mana yang berhak mendapat program, berapa
ratus atau berapa ribu alokasi unit di setiap daerah, dan rumah siapa-siapa
saja yang berhak mendapat program? Namun tanpa proses yang akuntabel kesemuanya
ditetapkan melalui surat-surat keputusan Menteri. Berbeda dengan program BLT
yang cukup jelas kriteria penerimanya, program BSPS ini tidak memiliki mekanisme
tersebut. Akibatnya timbul iklim spekulatif yang memberi peluang yang sangat
besar untuk menyimpangkan program ini.
Persoalan kelima, inefektifitas program perumahan swadaya. Dari uraian-uraian
persoalan yang menyelimuti program BSPS yang ternyata berhasil membobol
anggaran negara hingga triliunan rupiah tanpa akuntabilitas tersebut, bisa
dilihat sebagai penyimpangan tujuan perumahan swadaya itu sendiri. Tujuan
keswadayaan sebagaimana diamanatkan Pasal 21 Undang-undang
Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP no. 1 Tahun 2011)
yang menyebutkan bahwa rumah swadaya diselenggarakan atas prakarsa
masyarakat secara berkelompok, selalu diabaikan.
Padahal perumahan swadaya berbasis pemberdayaan kelompok adalah yang utama dari
sistem perumahan swadaya itu sendiri.
Sedangkan skema bedah rumah yang sifatnya
orang-perorang itu pada dasarnya adalah skema karitatif (bantuan sosial) yang
mem-bebani fiskal negara sehingga seharusnya sangat dibatasi. Namun sangat
mengherankan, mengapa skema bansos ini begitu disenangi dan didukung dengan
gelontoran anggaran secara besar-besaran? Akibatnya, sistem perumahan swadaya
berbasis pember-dayaan kelompok tidak kunjung berkembang hingga sekarang, yang
akhirnya berdampak pada rendah atau tidak adanya dukungan perumahan swadaya
untuk mengurangi angka housing backlog
dan luasan permukiman kumuh.
Sebagai langkah ke depan, Perumahan Swadaya Berbasis Kelompok harus
menjadi program prioritas dan lebih menyasar
keberdayaan komunitas melalui pembangunan perumahan dan permukimannya. Artinya,
perumahan swadaya adalah instrumen penting pemberdayaan komunitas. Pendekatan ini
mendudukkan masyarakat sebagai subyek, yaitu pelaku pembangunan di bidang perumahan
bukan sebagai obyek atau sekedar konsumen. Untuk penyediaan program secara efektif, Perumahan Swadaya Berbasis
Kelompok mensyaratkan adanya basis data yang akurat
mengenai kelompok masyarakat yang paling bermasalah dalam
hal perumahan dan permukimannya; Intervensi pada
sumber-sumberdaya kunci
dalam hal perolehan tanah, perijinan, pengembangan kawasan dan penyediaan
biaya; dan penyediaan sistem kelembagaan dan sistem pendanaan yang sesuai.
Memperhatikan beberapa
kriteria tersebut, maka prioritasnya harus diarahkan pada komunitas-komunitas di lokasi-lokasi permukiman kumuh maupun squatter di kota-kota metropolitan dan
kota-kota besar. Selain itu, ada pula komunitas-komunitas yang berbasis tempat
kerja (work-based housing), yaitu
mereka dari kalangan pekerja kelas bawah perkotaan, para pekerja pabrik, mereka
yang memiliki industri rumah-tangga, dan mereka yang
memiliki kesamaan pekerjaan di perkotaan seperti pengemudi.
***