Rabu, 25 Oktober 2017

KPR Mikro Berpotensi Salah Sasaran dan Tidak Efektif


Dari berita ini Bu Dirjen Pembiayaan Perumahan bilang, masih ada sebagian besar masyarakat yang belum dapat mengakses pembiayaan rumah sederhana (KPR subsidi senilai +/-120 juta rupiah), khususnya pekerja informal dengan penghasilan tidak tetap. Contohnya pedagang kaki lima, tukang bakso, dll. Nah, lalu kemudian Pemerintah meluncurkan skema KPR Mikro dengan pinjaman maksimal 50 juta rupiah untuk membantu membangun rumah dengan pinjaman selama 5 tahun.
Tujuannya memang bagus, tapi programnya jelas salah kaprah! Ini sih program mirip pemodalan usaha kecil dan mikro, karena siapa saja individu yg memenuhi syarat (usaha kecil/mikro informal) datang ke loket dan dapat bantuan KPR Mikro. Lha, kok pembiayaan perumahan rakyat tidak berbasis kawasan begitu? Bagaimana jika yang meminjam itu nanti bangun rumah di bantaran sungai? Apa dasarnya mereka yang bekerja di sektor informal perkotaan harus memiliki rumah di kota? Dan oleh karenanya harus diberi kredit pemilikan rumah yang besarannya mikro? Tidak ada dasarnya. Banyak mereka itu kaum pendatang, bahkan sebagian lagi itu adalah penglaju.










Atasi Masalah Reklamasi, Presiden Harus Turun Tangan


Atasi Masalah Reklamasi, Presiden Harus 



Turun Tangan
Proyek reklamasi pulau G teluk Jakarta. (BeritaSatu Photo/Uthan A Rachim)
Oleh: Bhakti Hariani / JAS | Kamis, 19 Oktober 2017 | 12:20 WIB
Jakarta - Dosen Kelompok Keahlian Perumahan Permukiman Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SKPPK) Insititut Teknologi Bandung (ITB) Jehansyah Siregar menuturkan, akar masalah kasus reklamasi ini pada dasarnya adalah hilangnya kepercayaan atau trust dari masyarakat kepada pemerintah.
Hal ini terjadi karena langkah-langkah yang dilakukan hanya menempatkan pemerintah sebagai pemberi stempel rencana dan aksi-aksi pebisnis properti. Menurut Jehansyah, keadaan berpotensi semakin tidak menentu jika pemerintah pusat maupun Pemprov DKI Jakarta berjalan masing-masing. Dalam situasi seperti ini, solusinya tidak lain adalah langkah-langkah yang bisa mengembalikan kepercayaan atau trust tersebut.
"Bukan hanya mengembalikan kepercayaan melalui wacana, namun sekaligus juga menyelesaikan sengkarut dasar peraturan dan teknis reklamasi tersebut," kata Jehansyah kepada Suara Pembaruan, Kamis (19/10).
Jehansyah menuturkan, proses penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) maupun rencana tata ruang dan zonasi misalnya, harus menjadi bagian dari proses mengembalikan kepercayaan tersebut. Jika Pemerintah tiba-tiba mengatakan Amdal sudah selesai, tanpa forum terbuka, hal ini justru semakin meningkatkan rasa ketidakpercayaan warga ke pemerintah.
Proyek reklamasi atau tepatnya Penataan Pantai Utara Jakarta dan Sekitarnya, kata Jehansyah, adalah proyek strategis yang harus ditangani secara komprehensif, transparan dan objektif. Untuk itu Gubernur Jakarta bersama Presiden harus turun tangan.
"Bukan cuma Presiden membuat pernyataan dan merasa semua keruwetan bisa diatasi oleh Menko Kemaritiman melalui pendekatan kekuasaan," kata Jehansyah.
Presiden tidak bisa hanya mengandalkan langkah-langkah biasa maupun pendekatan kekuasaan. Apalagi jika mengabaikan peran Gubernur Jakarta.
Untuk mengatasi hal ini beberapa solusi yang dapat dilakukan menurut Jehansyah adalah, Presiden bersama Gubernur DKI Jakarta dapat membentuk Badan Penataan Pantai Utara Jakarta dan Sekitarnya (BP Pujas).
Badan ini bisa dikelola secara profesional maka hendaknya dipilih orang-orang yang sangat kapabel dan berintegritas tinggi untuk duduk di dalamnya. Badan ini nantinya perlu berkoordinasi dengan Pemprov DKI, Banten dan Jabar serta kementerian terkait lainnya.
"Jangan lupa utamakanlah proses dialog terbuka untuk menyelesaikan bermacam masalah yang kusut ini dengan didukung desain forum yang andal. Dialog ini perlu didesain dengan cermat melalui pendekatan perencanaan partisipatif," tutur Jehansyah.
Setidaknya, lanjut Jehansyah, ada satu kamar berisi Tim Pakar yang sangat kapabel dari berbagai disiplin. Satu kamar lagi adalah perwakilan dari para pihak. Segala keputusan yang dibuat oleh pemerintah haruslah didasarkan dari hasil kesepakatan forum dialog tersebut.
Jehansyah yang juga pengamat tata kota ini melanjutkan, perlu ditunjuk dan koordinasikan BUMN/ BUMD sebagai pelaksana penataan kawasan Pujas berdasarkan rencana yang ditetapkan Badan dan berkekuatan hukum. Baik rencana tata ruang hingga masterplan pembangunan.
"Semua pengembang properti yang terlibat hendaknya tidak ikut campur atau berusaha mempengaruhi. Mereka sebaiknya duduk manis menunggu saatnya dibuka kesempatan investasi properti di kawasan yang disediakan untuk fungsi itu," tutur Jehansyah.
Kalau Pemerintah (pusat maupun provinsi) tidak melakukan langkah-langkah yang objektif seperti ini, maka banyak kelompok kepentingan akan tetap menjalankan agendanya sendiri sendiri.
"Masalah bisa jadi semakin runyam, bahkan berpotensi menimbulkan konflik horisontal yang semakin luas. Pemerintah harus mampu meningkatkan peran dan kapasitasnya dalam mengelola pembangunan untuk kepentingan negara dan semua golongan," pungkas Jehansyah.


http://www.beritasatu.com/jakarta/458903-atasi-masalah-reklamasi-presiden-harus-turun-tangan.html


Jakarta Gubernur Baru dan Tantangannya


Masalah Jakarta itu sangat berat. RTH masih sekitar 10% dr kewajiban 30%. Kekurangan hunian layak sekitar 300 ribu unit ditambah kebutuhan sekitar 50 ribu tiap tahun akibat pertambahan penduduk. Kawasan kumuh sekitar 400 lokasi. Tingkat pelayanan air bersih dan sanitasi masih sekitar 50%. Daya angkut transportasi umum masih sekitar 600 ribu dari sekitar 5 juta perjalanan. Jadi..... bagaimana menyelesaikan semua itu hanya mengandalkan program-program printilan (piecemeal)? Apalagi kalo dikasih bonus ribut2? Bagaimana? Pemprov DKI bersama Pemerintah pusat harus merintis membangun sistem, tidak bisa tidak. Apa itu sistem? Sistem adalah sebuah skema penyelesaian masalah melalui langkah-langkah yang terencana dengan baik yang didukung oleh berbagai instrumen dalam hal ini terutama kapasitas dan sistem kelembagaan yang handal. (MJS @TVRI, 18 Okt 2017)

























Kompas Senin 25 September.
Kebijakan Pembiayaan Perumahan tambal sulam terus. Pemerintah tidak kunjung memiliki sistem pemupukan dana jangka panjang untuk Perumahan Rakyat.


























Minggu, 01 Oktober 2017

Evaluasi Program Kampung Deret di Jakarta

Program Kampung Deret yang dimulai pada masa awal jabatan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo pada tahun 2013 sempat mendapat sambutan yang luas dari masyarakat, terutama masyarakat golongan bawah di Jakarta. Ada harapan program ini akan berkembang menjadi program yang dinanti warga untuk menuntaskan permasalahan permukiman kumuh di Jakarta. Namun sangat disayangkan program ini akhirnya berhenti setahun kemudian yaitu sekitar tahun 2014, setelah Presiden Joko Widodo diangkat.
Penerus Gubernur Jokowi, Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok, tidak melanjutkan program Kampung Deret, karena tampaknya lebih memilih penyediaan rusunawa dan menggusur warga permukiman kumuh untuk direlokasi ke rumah susun. Adanya temuan BPK soal pelepasan aset tanah negara dan lemahnya dukungan DPRD dalam persetujuan anggaran subsidi diperkirakan sebagai faktor-faktor yang semakin kuat menghentikan program Kampung Deret. Namun begitu, program ini masih menyisakan beberapa pertanyaan. Jika program ini mendapat sambutan masyarakat, bukankah memang ada sesuatu dari program yang memberi harapan? Jikapun ada beberapa kendala teknis, bukankah sebaiknya dievaluasi?
Berdasarkan evaluasi melalui analisis media dan observasi singkat di lapangan, dapat diperoleh beberapa pokok persoalan yang menggambarkan bagaimana pelaksanaan program Kampung Deret di lapangan, sebagaimana diuraikan berikut ini.
1. Fokus untuk Menata Permukiman Kumuh Informal
Sudah banyak program penataan permukiman kumuh perkotaan yang dilaksanakan di Indonesia, namun belum ada yang secara efektif menangani permukiman kumuh informal (ilegal), terutama permukiman di atas tanah negara. Selama puluhan tahun permukiman kumuh informal selalu dipandang sebagai wujud ketidak-tertiban semata. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bahkan memberi status “negative list” untuk jenis permukiman ini. Artinya, ini jenis permukiman yang tidak sesuai dengan peruntukan tata ruang. Tidak sesuai aturan, negatif, titik. Akibatnya pemerintah kota cukup memberi label negatif untuk permukiman kumuh informal di ruang-ruang sisa kota, dan hanya bisa membiarkannya tumbuh dan berkembang secara tidak terencana.
Proyek Kampung Deret di Petogogan dan Tambora, Jakarta, keduanya berada di atas tanah negara dan bertujuan menata permukiman informal. Menata permukiman kumuh informal seharusnya memang dipandang sebagai prioritas pemerintah dalam program penataan permukiman. Hal ini karena warga permukiman informal mengalami ketidakpastian menghuni yang tinggi (insecurity of tenure) dan terbentuk dari proses pembangunan permukiman kota yang tidak terencana dengan baik.
Untuk bisa menata permukiman kumuh informal Pemerintah Daerah sebenarnya perlu mendapatkan dukungan dari Pemerintah Pusat. Hal ini karena diperlukan berbagai skema yang rumit seperti pemetaan sosial (bukan sensus seperti selama ini dilakukan setiap kali hendak menggusur), pengorganisasian pemukiman kembali (resettlement), hingga pengembangan area-area permukiman baru. Kemampuan-kemampuan ini seharusnya dimiliki oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Namun sayangnya belum ada model penataan permukiman kumuh informal secara komprehensif yang disiapkan Pemerintah Pusat selain daftar panjang proyek-proyek kecil senilai 1-2 milyar rupiah yang terfragmentasi secara sempurna hingga mata anggaran satuan 3.
2. Menata Permukiman Kumuh tanpa Menggusur.
Sebagai dampak dari pembiaran yang lama, tidak sedikit pemerintah kota yang akhirnya jatuh pada pilihan penggusuran untuk menangani permukiman kumuh informal. Namun pelaksanaan proyek Kampung Deret di Jakarta justru dijalankan dengan tanpa menggusur. Hal inilah yang menyebabkan program ini mendapat sambutan dari warga, khususnya di lokasi penataan tersebut. Kampung deret merupakan hunian yang dibangun tanpa melakukan relokasi dari daerah asal ke daerah yang jauh.
3. Pendekatan Pemberian Bantuan.
Adanya fokus manangani permukiman informal dan tujuan menata permukiman kumuh tanpa menggusur tidak lantas membawa program Kampung Deret otomatis berjalan dengan baik tanpa hambatan. Hambatan itu mulai dijumpai akibat pendekatan yang digunakan adalah pemberian bantuan aneka rupa. Mulai dari tanah negara yang akan diberikan kepada warga, bantuan tukang untuk pembangunan rumah dan biaya pembangunan rumah senilai sekitar 54 juta rupiah yang juga dihibahkan kepada warga penghuni. Pendekatan karitatif seperti ini akhirnya menuai berbagai kendala. Mulai dari temuan BPK mengenai kasus pelepasan aset (tanah) negara, kelembagaan yang tumpang tindih antara pusat dan daerah dan antar sektor, hingga akhirnya tidak disetujuinya anggaran program oleh DPRD DKI Jakarta.
Sedangkan di tengah masyarakat muncul isu adanya warga yang menjual rumahnya ke pihak lain. Isu ini menjadi isu yang menonjol karena status tanah yang sudah jelas sebagai milik warga penerima bantuan, kondisi rumah yang sudah bagus dan lingkungan yang sudah lebih tertata sehigga menyebabkan harga tanah dan bangunan meningkat. Pendekatan bantuan yang berakhir sebagai aset-aset individual menyebabkan kelemahan program kampung deret seiring dengan menonjolnya individualisme warga dan tidak terbangunnya komunitas warga. Lemahnya peran pemerintah pusat dalam pengorganisasian dan pendampingan warga secara berkelompok untuk membangun rumah swadaya, menyebabkan banyak warga yang bersikap sendiri-sendiri terhadap aset yang dihibahkan pemerintah kepada mereka.
Langkah ke Depan
Sebagai hasil evaluasi singkat tersebut, dapat disimpulkan agar ke depannya, program Kampung Deret ini masih tetap potensial untuk dilanjutkan dengan beberapa perbaikan. Arah kebijakan untuk menyasar permukiman kumuh informal (squatter settlements) dan pilihan kebijakan “menata tanpa menggusur” sudah menempatkan program ini langsung berada di jalur yang benar sejak awal. Satu-satunya kekurangan program ini adalah menggunakan pendekatan bantuan dan sangat lemah dalam mekanisme kelembagaan dan anggaran. Kekurangan pendekatan inilah yang kiranya perlu diperbaiki dan diganti dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat.
Pendekatan pemberdayaan masyarakat jika dikembangkan secara konsisten dan konsekwen akan berimplikasi luas pada fitur-fitur program yang lainnya. Hal pertama yang segera dikoreksi adalah mekanisme belanja proyek tahunan yang berorientasi pada proyek-proyek fisik semata. Pendekatan pemberdayaan masyarakat menempatkan ukuran-ukuran keberdayaan masyarakat sebagai yang utama. Sedangkan ukuran penyediaan proyek fisik hanya bersifat mendukung. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat memerlukan kapasitas yang berbeda dengan penyediaan fisik prasarana permukiman semata. Kapasitas pemberdayaan masyarakat permukiman inilah yang pertama kali harus disiapkan oleh pemerintah. Dan ini sifatnya khusus untuk permukiman. Bukan pemberdayaan masyarakat untuk pertanian, usaha kecil, kependudukan dan sebagainya yang berbeda pendekatan dan langkahnya.
Pemberdayaan masyarakat bermakna luas pula, karena pengertian masyarakat di sini bukan hanya komunitas warga yang dijadikan sasaran penataan. Namun juga kelompok masyarakat lainnya seperti LSM, Universitas, Dunia Usaha, Pemerintah Daerah dan kelompok lainnya yang memiliki perhatian dan kepedulian terhadap program penatan permukiman kumuh. Sedangkan komunitas warga permukiman ditempatkan sebagai subjek pembangunan dan semakin meningkat keberdayaannya melalui pembentukan jejaring komunitas antara satu komunitas di suatu tempat dengn komunitas lainnya di tempat lain pula.
Secara nyata, ada beberapa bentuk fasilitasi yang perlu diorganisir untuk memberdayakan komunitas warga, yaitu;
(1) Dukungan pengorganisasian kelompok warga, termasuk membentuk kelompok tabungan perumahan. Juga dukungan dalam mengembangkan jejaring komunitas dan jejaring para-pihak yang seiring dengan peningkatan kapasitasnya.
Adanya sistem inter-organisasi seperti ini akan memberi legitimasi formal kepada keberadaan kelompok-kelompok perumahan, sehingga menjadi tumpuan dalam mengakses berbagai dukungan lainnya.
Dengan demikian akan terbangun sebuah sistem kegiatan Rumah Swadaya Berbasis Kelompok yang tidak lagi dilihat sebagai kegiatan proyek fisik biasa.
(2) Dukungan mendapat akses ke tanah tanpa harus berstatus tanah milik. Adanya legitimasi kegiatan dan instrumen Rumah Swadaya berbasis kelompok menimbulkan justifikasi untuk memperoleh hak-hak pakai tanah. Baik tanah masyarakat, tanah adat maupun (dan terutama) tanah-tanah milik negara.
(3) Dukungan penyediaan prasarana permukiman yang memang menjadi kewajiban pemerintah,
(4) Dukungan pinjaman kredit mikro untuk membangun rumah dengan cicilan yang rendah dan berjangka panjang,
(5) Pemberdayaan sosial dan ekonomi kelompok warga.
Semua bentuk dukungan tersebut tidak ada satupun yang sifatnya memberi bantuan (karitatif) kepada warga sebagaimana program Kampung Deret yang lama. Hal ini tidak membebani ketersediaan dana dan aset pemerintah. Peran pemerintah harus dikembangkan sebagai PEMBERDAYA atau ENABLER , dan bukan lagi sebagai pemberi bantuan atau penyedia prasarana fisik semata.
Di dalam pelaksanaannya, berbagai skema peraturan, kelembagaan dan pembiayaan perlu terus dikembangkan untuk menjamin terjadinya pemberdayaan melaluli berbagi dukungan fasilitasi tersebut. Di sini sekali lagi sangat diperlukan peran pemerintah pusat. Urusan perumahan dan permukiman adalah urusan yang tergolong kongkuren di antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi dan Daerah. Artinya diperlukan pembagian peran yang harmonis dan sinergis, dimana peran Pemerintah Pusat haruslah mampu membina dan membuat model penanganan yang komprehensif untuk dilaksanakan dan dijadikan acuan bagi Pemerintah Daerah.
Inilah bentuk dari sistem penyediaan Rumah Swadaya Berbasis Kelompok yang menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat, yang perlu dikembangkan dalam rangka menata permukiman kumuh informal di kota-kota metropolitan dan kota-kota besar di Indonesia.
***

Kerjasama Rusunawa Salah Kaprah

Dalam rangka penyediaan rumah yang terjangkau, pembangunan rusunawa baik oleh pusat maupun daerah itu bagus saja. Tujuannya menambah affordable rental housing stock di Jakarta. Tapi pertanyaannya, kenapa harus DKI beli rusunawa yang dibangun Perumnas? Apa memang Perumnas itu kontraktor bangun-bangun rusunawa? Kalau kita lihat di Jepang, beribu-ribu menara danchi UR bertebaran di ratusan lokasi sekitar Tokyo, Osaka, Nagoya dan kota-kota besar lainnya. Begitu juga di Korea Selatan, tower-tower rusunawa KLHC bertebaran di sepanjang jalan Incheon menuju Seoul. UR dan KLHC itu Perumnasnya kedua negara tsb. Nah, kok di negeri ini mesti dibeli DKI (Pemda)?
Pertanyaannya untuk DKI, mau sampai berapa tunggakan sewa rusunawa nanti? Sekarang sudah 32 M. Bagaimana dengan yg 25 tower baru ini, apakah semakin membengkakkan subsidi dan tunggakan? Pertanyaan untuk Perumnas, kalau "nas" ya harusnya jadi aset nasional dan BMN (barang milik negara), kenapa dijadikan BMD? Apalagi kalau lokasi tanah HPL dan gedung BMN dari modal PMN (penyertaan modal negara)? Bukankah Perumnas juga harus menjalankan modal dan aset-asetnya agar bisa mengelola Rusunawa yang berkelanjutan secara korporasi yang berbeda dengan UPT (milik DKI)?
Kalau Perumnas jual rusunawa ke DKI, akibatnya Perumnas melepaskan aset2nya dan tidak kunjung membangun public housing delivery system yang berkelanjutan, serta DKI semakin membebani APBD nya dengan subsidi pengelolaan rusunawa. Tambahan lagi, potensi tunggakan sewa akan semakin membengkak.
Jadi maunya apa nih pejabat-pejabat? Pencitraan? Waduh !!!

------------------------------------------------------------

Pemprov DKI Gaet Perum Perumnas Sediakan Rusun untuk Warga

Mesha Mediani , CNN Indonesia | Sabtu, 09/09/2017 05:34 WIB

Jakarta, CNN Indonesia -- Gubenur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat menggaet Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas). Itu pun ditandatangani lewat perjanjian kerja sama, Jumat (8/9). 

Ruang lingkup kesepakatan tersebut adalah penyediaan rusunawa yang dibangun dan dikembangkan Perum Perumnas di atas lahan milik BUMN tersebut di wilayah DKI Jakarta.

Djarot menyebut kesepakatan kerjasama ini adalah bentuk mewujudkan program pemerintah bertajuk ‘Sejuta Rumah’.


"Programnya, di Jakarta kita harus banyak bangun rumah susun, bukan rumah tapak," ujar Djarot di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (8/9). 

Djarot menambahkan, untuk memfasilitasi warga Ibukota kurang mampu, maka ada pemerintah yang mensubsidi kebutuhan tempat tinggal mereka berupa rusun.

"Oleh karenanya, kami bekerjasama dengan Perum Perumnas, untuk membangun (rusun). Termasuk fasilitas yang kami miliki diintegrasikan untuk menampung pemukiman kumuh dan normalisasi sungai," kata Djarot.

Mantan Wali Kota Blitar tersebut mengatakan hingga saat ini Pemprov DKI belum bisa membangun perumahan warga berbentuk rumah tapak karena tidak tersedianya lahan.

"Kalau kita bangun perumahan yang tinggi dengan banyak tower, maka akan ada banyak ruang terbuka hijau," ujar Djarot.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Utama Perum Perumnas Bambang Triwibowo mengatakan pihaknya akan membangun enam tower rusunawa berisi 3.000 unit di kawasan Cengkareng, Jakarta Barat.

"Nanti itu kita bangun, spesifikasi, ukuran, dan lain-lain, kami pasti ngikuti apa yang disampaikan oleh pihak DKI. Nanti DKI dengan audit dari BPKP (badan pengawasan keuangan dan pembangunan) dan lainnya akan membeli," kata Bambang.

Meski demikian, Perum Perumnas terlebih dulu akan merevitalisasi rusun Klender, Jakarta Timur yang sudah berdiri 25 tower dengan 8.000 unit. Rusun tersebut dinilai sudah tidak layak huni sejak dibangun tahun 1980.

"Sekarang kami sedang persiapkan detail desain, kemudian kami kan mengikuti aturan TOR (kerangka acuan kerja) DKI, IMB (izin mendirikan bangunan), AMDAL, perizinannya bagaimana. Nanti begitu ini selesai, ya kita segera (revitalisasi)," kata Bambang.








SALAH SASARAN

"Backlog" Rumah Masih Tinggi, Pemerintah Dituding Salah Sasaran

DANI PRABOWO
Kompas.com - 13/09/2017, 18:32 WIB
JAKARTA, KompasProperti - Meski pemerintah tengah gencar merealisasikan Program Pembangunan Nasional Sejuta Rumah, namun angka kebutuhan rumah yang belum terpenuhi atau backlogmasih tetap saja tinggi.
Hal tersebut diduga lantaran pemerintah salah dalam menetapkan target peruntukan pembangunan rumah, rumah susun (rusun), atau pun rumah susun sewa (rusunawa).
Dosen Kelompok Keahlian Perumahan Permukiman Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SKPPK) Institut Teknologi Bandung (ITB), Jehansyah Siregar, mengatakan, banyak apartemen yang dibangun pemerintah justru tidak diperuntukkan bagi masyarakat yang memang benar-benar belum memiliki hunian.
"Contoh yang salah sasaran adalah bangun apartemen murah atau rusunawa untuk pesantren, rusunawa untuk polisi, rusunawa untuk universitas dan sebagainya," kata dia kepada KompasProperti, Rabu (13/9/2017).
Pengkhususan itu terjadi, lantaran apartemen atau rusunawa didirikan di atas lahan milik kepolisian, pesantren atau universitas. Pada gilirannya, ada pengkhususan bagi mereka yang tinggal di sana.
Selain itu, Jehansyah menambahkan, tak jarang pengembang swasta yang hendak menyediakan hunian terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), dihadapkan pada perizinan yang sulit di tingkat daerah.
Tentu saja ini kontradiktif, dan bertentangan dengan upaya pemerintah pusat yang ingin agar proses perizinan berjalan cepat, sehingga angka backlog yang kini telah mencapai 11,4 juta unit dapat berkurang.
Advertisment
"Pembangunan perumahan kita itu tidak terencana dengan baik. Di satu sisi mendorong swasta di depan, namun di sisi lain justru membuka ruang perizinan," kata dia.
Sementara itu, Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Syarif Burhanuddin mengatakan, dari 11,4 juta angka backlog, 20 persen di antaranya tergolong ke dalam jajaran rumah komersial yang tidak memerlukan subsidi.
Sedangkan, 20 persen lainnya tergolong ke dalam kelompok bawah yang membutuhkan bantuan sosial dari pemerintah. Pasalnya, meskipun sudah diberi kemudahan fasilitas kredit, mereka tidak mampu membeli rumah.
"60 persen sisanya merupakan kalangan menengah yang memerlukan bantuan subsidi," kata Syarif saat talkshow BTN Golden Property Awards di Hotel Raffles Jakarta, Senin (11/9/2017).
Pemerintah, kata dia, berharap agar pengembang swasta dapat turut membantu dalam menyediakan rumah yang harganya terjangkau bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. 
Sebelumnya diberitakan, Chairman Lippo Group James Riady meminta pemerintah untuk memberikan kepastian dalam hal perizinan. Pengusaha, kata dia, cenderung ingin berbisnis tanpa rasa khawatir memikirkan perizinan yang seringkali tidak pasti.
"Mengenai perizinan itu (mengurus) bisa 5 tahun, bisa 10 tahun," kata James.
http://properti.kompas.com/read/2017/09/13/183244521/backlog-rumah-masih-tinggi-pemerintah-dituding-salah-sasaran

NEGOSIASI PERIZINAN

Swasta Bangun Rumah Rakyat Tumbuhkan Praktik Negosiasi Perizinan
DANI PRABOWO
Kompas.com - 13/09/2017, 13:03 WIB
JAKARTA, KompasProperti - Pemerintah pusat selama ini terus mendorong pengembang swasta untuk turut berperan aktif dalam menyediakan perumahan. Pasalnya, angka kebutuhan rumah yang belum terpenuhi atau backlog masih tinggi yaitu 11,4 juta unit.
Kendati demikian, keinginan tersebut tidak disertai dengan implementasi kebijakan yang baik, sebagaimana dikeluhkan Chairman Lippo Group James Riady saat talksho BTN Golden Property Award, Senin (11/9/2017).
Baca: Bos Lippo Minta Pemerintah Jamin Kepastian Perizinan
Meski regulasi untuk mempercepat proses perizinan itu sudah ada, namun di tingkat eksekutor di daerah justru masih dipersulit.
"Pembangunan perumahan kita tidak terencana dengan baik. Di satu sisi mendorong swasta di depan, namun di sisi lain justru membuka negosiasi ruang perizinan," kata Dosen Kelompok Keahlian Perumahan Permukiman Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SKPPK) Institut Teknologi Bandung (ITB), Jehansyah Siregar kepada KompasProperti, Rabu (13/9/2017).
Ada beragam perizinan yang harus dikantongi pengembang sebelum akhirnya mereka dapat membangun rumah, mulai dari izin prinsip, izin lokasi, hingga sertifikat laik fungsi.
Dalam setiap izin yang harus dikantongi, juga terdapat izin-izin lain yang harus terpenuhi.
Izin prinsip, misalnya, harus dijelaskan secara detail lahan akan diperuntukkan sebagai apa, rencana intensitas, berapa banyak hunian yang akan dibangun dan sebagainya.
"Baru nanti izin lokasi, dan ini panjang lagi. Mulai dari melihat kesesuaian lahan, sesuai enggak untuk lahan perumahan. Dan perlu diketahui, tidak semua zona residensial yang berwarna kuning itu sesuai untuk perumahan," papar Jehansyah.
Banyak serta lamanya proses perizinan yang harus diurus pengembang, menurut dia, menjadi preseden buruk bagi pemerintah di dalam program penyediaan perumahan.
Di satu sisi ada kebutuhan perumahan yang harus dipenuhi, namun di sisi lain ada kesulitan yang harus dihadapi pengembang dalam mendapatkan izin-izin tersebut.
"Mekanisme ini yang pada akhirnya membuka ruang negosiasi. Inilah pilihan kebijakan perumahan kita. Jadi jangan heran, ada proses yang berjalan mulus dan ada yang tidak. Karena ini berada di ruang negosiasi," tambahnya.
Sebelumnya diberitakan, James Riady mengungkapkan, investor yang ingin berbisnis di Indonesia membutuhkan kepastian dari pemerintah, terutama dalam hal perizinan.
Pengusaha cenderung ingin berbisnis tanpa rasa khawatir memikirkan perizinan yang seringkali tidak pasti.
"Mengenai perizinan itu (mengurus) bisa 5 tahun, bisa 10 tahun," kata James.
Penulis Dani Prabowo
Editor Hilda B Alexander

MAKRO PRUDENSIAL

Sekali lagi kemarin (20 September 2017) saya diundang Departemen Makro Prudensial Bank Indonesia untuk berbicara mengenai perkembangan dunia properti di tanah air. Jika sebelumnya masih berbicara bagaimana efektivitas kebijakan LTV (loan to value, proporsi uang muka dan pinjaman), kini akan ada konsep baru yang namanya LTV spasial.
Jika sebelumnya LTV mengatur untuk rumah pertama dan rumah kedua, dsb, LTV spasial ingin mengatur proporsi DP pinjaman berdasarkan zonasi. Namun tampaknya belum ada konsep yang matang untuk diterapkan oleh BI agar bisa diterima berbagai pihak dan lintas bidang.
Beberapa catatan saya:
Spekulasi properti yang tidak terkendali di daerah perkotaan sebenarnya tidak beda dengan tumbuh-kembangnya pemukiman padat dan kumuh. Keduanya sama-sama dipicu oleh absennya negara di dalam mengelola urbanisasi sehingga tidak ada sistem dan perencanaan yang terarah. Semua serba spontan dan sporadis. Sebenarnya ini tidak mengapa asal everybody happy. Semua boleh menyerobot dan semua boleh spekulasi. Toh wilayah Indonesia ini luas sekali. Dampaknya paling-paling hanya inefisiensi. Tapi jangan ada penggusuran dan jangan ada pengetatan atau larangan spekulasi. Selama pemerintah malas membangun sistem dan everybody happy, no problemo.
Sampai suatu ketika alarm itu berbunyi. Semua kesemrawutan ini sudah cukup! Maka dari itu jika negara ingin hadir maka hadirlah secara seksama. Kalau upaya penataan permukiman kumuh jangan sampai melanggar hak asasi manusia di dalam bertempat tinggal, maka upaya pengendalian spekulasi yang salah satunya melalui LTV bertujuan sebagai countercyclical agar jangan sampai terjadi krisis moneter.

KLAIM SEJUTA RUMAH YANG MENYESATKAN

Di dalam Rilis Kementerian PUPR (29 September 2017) disebutkan bahwa capaian Program Satu Juta Rumah hingga September 2017 sudah mencapai 623.344 unit, terdiri dari rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) 518.694 unit dan Non MBR 104.650 unit. Disebutkan bahwa sejak Program Satu Juta Rumah mulai dicanangkan pada 29 April 2015, jumlah rumah yang berhasil dibangun terus meningkat setiap tahun.
Angka pencapaian tersebut seolah sudah menjawab masalah kekurangan rumah (housing backlog). Padahal pada saat yang sama, beragam masalah perumahan rakyat tetap bermunculan. Penggusuran di rumah negara maupun permukiman kumuh, konflik antara penghuni dan pengelola apartemen, harga rumah sederhana yang semakin tak terjangkau golongan bawah, maupun masalah klasik para penglaju yang dilematis menemukan hunian layak di kota. Jadi sungguh mengherankan, di tengah ragam masalah hunian yang tetap ada itu, dan belum dijumpainya program yang efektif, dari mana datangnya angka tersebut?
Pertama-tama, angka pembangunan rumah Non-MBR 104.650 unit ini datang dari praktek bisnis properti yang dijalankan pengembang tanpa subsidi. Angka ini tentu tidak bisa diklaim sebagai program pemerintah di bidang perumahan rakyat. Pengembang berbisnis dengan mengikuti berbagai prosedur penataan ruang dan peraturan bangunan di daerah. Tanpa adanya program perumahan rakyat toh bisnis properti dan pembiayaan KPR tetap berjalan. Jadi angka 104.650 unit harus dikeluarkan dari kinerja capaian perumahan rakyat.
Lalu dari mana pulak angka 518.694 unit tersebut? Tentunya ini datang dari proyek-proyek dalam program sejuta rumah. Misalnya proyek bantuan bedah rumah, penyediaan prasarana umum, pembangunan rumah sederhana, maupun pembangunan blok-blok Rusunawa. Pertanyaannya, apakah proyek-proyek fisik seperti ini bisa diklaim efektif mengurangi housing backlog? Bagaimana mungkin proyek bedah rumah yang hanya kasih bantuan perbaikan sebagian rumah bisa dihitung ke dalam penyediaan 1 unit rumah? Bagaimana ceritanya blok-blok rusunawa untuk prajurit, santri dan mahasiswa dipakai untuk mengklaim penyediaan rumah-rumah keluarga MBR perkotaan? Sedangkan bantuan prasarana juga hanya memberi bantuan jalan kecil dan saluran kecil, sehingga sulit dinilai sebagai penyediaan unit-unit rumah.
Pencapaian target yang efektif setiap tahun diperkirakan masih di bawah 100 ribu unit. Hal ini karena target sejuta rumah harus benar-benar dihitung sebagai penyediaan unit hunian yang utuh dan efektif mengenai sasaran. Jadi angka 518.694 unit tersebut harus dikoreksi total dan dikurangi hasil-hasil yang tidak lengkap sebagai satu unit rumah dan tidak efektif mencapai sasaran.
Tampaknya program sejuta rumah yang ada sekarang memang tidak berkorelasi untuk menjawab kebutuhan hunian rakyat secara efektif. Jika pemerintah terus mengklaim dan menggunakan indikator yang tidak tepat seperti ini pantas saja masalah perumahan rakyat tetap ada. Anggaran pembangunan bepuluh triliun dihabiskan namun masalah perumahan rakyat tak berkurang.
Lalu apa manfaat program sejuta rumah kalau hanya berisi klaim-klaim target? Toh masalah hunian rakyat tak berkurang, dan penyediaan hunian oleh masyarakat pada dasarnya tetap berlangsung? Tanpa program sejuta rumah para pemilik tanah tetap membangun rumah petak dan menyewakannya. Keluarga muda mencari kontrakan dan para orang tua membantu uang muka rumah anaknya. Sedangkan Bank Indonesia menjaga stabilitas moneter untuk menjamin berlangsungnya pembiayaan KPR yang sangat membantu pemilikan rumah. Jadi, tanpa program sejuta rumah pun semua itu tetap berlangsung.
Lantas, apakah konsep program dan klaim-klaim seperti itu mau tetap dipertahankan? Inilah tantangan yang harus dijawab oleh pemerintah melalui program-program yang efektif dan memupuk sistem penyediaan yang semakin kuat. Program yang disusun seharusnya memberi perhatian pada penguatan sektor publik dan sektor masyarakat. Bukan cuma proyek-proyek yang tidak efektif atau malah memfasilitasi sektor bisnis properti. Bisnis properti tidak perlu difasilitasi bidang perumahan rakyat, karena sudah bisa berjalan dalam koridor pembangunan wilayah dan penataan ruang.
Belajar dari negara-negara yang sudah maju perumahan rakyat dan pembangunan kotanya, program perumahan rakyat memang hanya bertumpu pada dua bidang program, yaitu public housing (rusunawa) dan self-help housing (rumah swadaya non-bansos). Melalui kedua program ini maka kinerja penyediaan unit-unit rumah akan lebih terukur dan tepat sasaran. Kemudian program bisa disusun secara terencana dalam peta jalan menuju rumah layak untuk seluruh rakyat.
Janganlah lagi masyarakat disuguhi program bodong dan akrobat klaim-klaim keberhasilan yang memalukan. Indonesia harus segera berbenah dalam pembangunan perumahan rakyat dan menciptakan lingkungan kota-kota yang berkelanjutan untuk semua golongan.
***

Selasa, 28 Maret 2017

DP 0% Masih Belum Jelas



Salah satu paslon Pilkada DKI Jakarta mengkampanyekan program hunian murah di Jakarta dengan DP 0%. Mereka ingin mewujudkan kesejahteraan dengan memberikan kredit rumah yang dipandang memberikan harapan, yakni dengan uang muka atau DP 0%. “Kami akan berikan kredit rumah dengan DP nol rupiah”, ujar salah satu calon dalam Debat Cagub DKI 2017 pada 27 Januari 2017.

Program ini telah menuai perbincangan yang menarik di berbagai kalangan. Namun lebih banyak yang mempertanyakan, karena sebenarnya DP 0% itu belum bisa dibilang program perumahan, melainkan hanya gimmick yang mencitrakan ingin meringankan cicilan rumah warga. Kalau tidak jelas programnya seperti apa, ini sangat berbahaya karena bisa menjadi seperti cek kosong. Bisa saja jatuh jadi program subsidi penuh yang berpotensi membangkrutkan keuangan pemerintah Jakarta. Atau bisa juga mengelabuhi masyarakat yang ternyata misalnya itu bukan program rumah hak milik (SHM) seperti yang dibayangkan masyarakat.

Dari sisi pembiayaan perumahan saja, DP 0% ini konsepnya masih belum jelas. Sumber pembiayaan subsidi itu harus dari dana jangka panjang. Nah ini dari mana sumber dananya? Karena kalau pakai sumber dana komersial pastilah merugikan bank dan mengancam prudensial bank. Kemudian berapa suku bunganya, berapa lama tenor pinjamannya dan bagaimana konsepnya, apakah subsidi uang muka saja atau juga subsidi suku bunga? Semuanya masih belum jelas. Seandainyapun konsep pembiayaannya sudah jelas, maka pertanyaan lainnya housing delivery systemnya seperti apa?

Program perumahan yang jelas dan efektif itu kalau ada konsep housing delivery systemnya secara utuh. Meliputi perencanaan lokasi, konsep kelompok sasaran, skema kelembagaan, pembiayaan dan pengelolaannya. Kemudian, harus jelas juga, berada di moda penyediaan yang mana? Apakah itu public housing, social housing, commercial housing (property business), atau self-help housing seperti ditetapkan pasal 21 Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU 11/2011 mengenai jenis-jenis rumah)?

Jadi jika dilihat dari kerangka housing delivery system, DP 0% ini masih belum jelas mau berada di moda yang mana. Kalau katanya ini konsep rumah milik, berarti ini program subsidi pasar rumah komersial (subsidi KPR). Namun konsep lokasinya, kelompok sasarannya, bagaimana mekanisme penyediaannya, kelembagaannya, dll masih belum jelas.

Akibat ketidakjelasan tersebut, beberapa pihak yang ingin mendukung mencoba menambah-nambah konsep program tersebut. DP 0% ini untuk korban penggusuran, untuk apartemen, dan lain-lain. Misalnya, ada yang menafsirkan itu program seperti model HDB (mirip Perumnas) di Singapura. Padahal HDB itu program public housing yang mirip Rusunawa dan bukan DP 0%. Kalau memang yang hendak diangkat itu program public housing (rumah umum) maka tentunya bukan dengan cara beli-beli rumah yang ada di iklan jual rumah. Jadinya orang memahami itu sekedar bantuan subsidi KPR biasa. Istilahnya upfront subsidy. Ini jauh sekali dengan public housing di atas.

Kalau public housing, yang diangkat itu program penguatan kelembagaannya, konsep pemilihan lokasi (misal dekat stasiun), konsep kelompok sasaran, skema sewa dan sewa beli hak pakai, dsb. Sedangkan DP 0% dalam skema public housing itu bisa saja jadi bagian program. Tapi itu untuk rumah milik hak pakai jangka panjang. Karena tanah (HPL) tetap milik negara yang dikelola lembaga tsb. Tapi tampaknya DP 0% itu bukan mengarah ke public housing. Kalau tetap ada yang mengatakan mungkin, ya bukan itu persoalannya. Sebagai program bantuan pembiayaan pemerintah ya mungkin-mungkin saja. Persoalannya, program penyediaan perumahannya seperti apa?

Jikapun ada yang membandingkan DP 0% dengan aturan program rusunawa yang sekarang, dimana penghuni korban gusuran harus memperpanjang sewa setiap dua tahun, dan maksimal 4 kali perpanjang, memang betul juga, konsep sewa rusunawa seperti itu memang mengusik "security of tenure" dari warga penyewa. Tapi itu karena keterbatasan housing stock, dan bukan kemudian solusinya adalah rumah tapak milik. Perbaiki sistem sewanya dan yang lebih penting, tingkatkan stok unit rusunawa secara signifikan! Sedemikian sehingga bisa menetap di rusunawa di banyak lokasi pilihan dan tidak dibatasi waktu.

Pemerintah pusat sebenarnya juga turut bertanggung jawab, karena dari target 550 ribu unit rusunawa di dalam RPJMN 2015-2019 baru berhasil dibangun kurang dari 40 ribu unit, padahal sudah memasuki tahun ke-3. Ini karena penyediaan rusunawa masih menggunakan konsep bagi-bagi twin-block dan belum ada terobosan strategi penyediaan rusunawa skala besar di kota-kota besar/metropolitan.

Namun demikian, pemerintah tidak bisa juga hanya memberikan solusi tunggal rusunawa. Hal ini telah menimbulkan banyak konflik pada saat terjadi penggusuran-penggusuran. Selain ketersediaan rusunawa dalam jumlah dan lokasi yang memadai, untuk mereka penduduk asli yang sudah lama menetap di kampung kumuh, perlu disediakan pula konsep alternatif seperti rumah deret atau rumah komunitas atau kampung susun yang juga kompak dan berkepadatan tinggi. Konsepnya tentu bukan public housing atau subsidized market housing, melainkan menggunakan pendekatan self-help housing atau rumah swadaya.

Memang perhatian kedua paslon pilgub DKI ini terhadap isu perumahan rakyat sudah sangat besar dan patut kita syukuri. Namun jangan sampai tidak dibarengi dengan konsep dan program yang baik, agar kampanye menjadi bermakna demi tujuan yang murni untuk merumahkan warga Jakarta secara layak dan bermartabat.

Rabu, 01 Februari 2017

Solusi untuk Ahok dan Pendukungnya

Penyelesaian kasus hukum yang menimpa Ahok akibat dakwaan penodaan agama tampaknya masih belum jelas ke mana akan bermuara. Lambatnya proses hukum ini semakin menguatkan dugaan adanya pemihakan pemerintah kepada Ahok. Sepertinya ada kebingungan di kalangan pendukung Ahok sehingga ada upaya untuk merekayasa proses hukum secara tak kasat mata, seperti rencana membuka proses gelar perkara yang biasanya tertutup, pemanggilan saksi ahli dari Mesir, dan sebagainya. Sebuah analisis menyebutkan, jika Ahok sampai dipenjara dan gagal jadi Gubernur Jakarta, maka ini berarti kemunduran luar biasa, baik bagi kekuatan politik pendukungnya, juga bagi pimpinan tertentu di pemerintahan, serta bisa pula berarti keruntuhan bisnis bagi para taipan pengembang yang telah mengeluarkan investasi yang ditaksir senilai puluhan triliun rupiah. Sementara fatwa jumhur ulama melalui MUI jelas menyatakan Ahok telah melakukan penistaan agama Islam. Ketidakjelasan politik seperti ini tentunya bisa mengancam stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara di tanah air.

Sebenarnya dakwaan penodaan agama yang dilakukan Ahok adalah klimaks dari runtutan kesalahan yang panjang di belakangnya. Kesalahan fatal pembangunan yang dipimpin Ahok di Jakarta adalah keberpihakannya terhadap kelompok pengembang dengan proyek-proyek besarnya. Terutama kontroversi proyek reklamasi 17 pulau di pantai utara Jakarta untuk kepentingan bisnis properti. Keberpihakan ini sudah dimulai dari dukungan para taipan properti di tanah air terhadap kelompok politik pemerintah yang sedang berkuasa, yang akhirnya mempengaruhi berbagai kebijakan pembangunan di tanah air.

Mengapa taipan-taipan pengembang bisa begitu berkuasa di Indonesia? Jawabannya adalah kebijakan pembiaran yang dijalankan pemerintah dalam hal pembangunan kota-kota dan pengembangan kawasan permukiman. Bisa dikatakan pemerintah menyerahkannya kepada mekanisme bisnis properti yang dijalankan para pengembang. Bisnis properti pada dasarnya berbeda dengan bisnis manufaktur yang lebih membutuhkan dedikasi dan ketekunan untuk membangun sebuah kerajaan bisnis. Namun di tengah iklim yang membiarkan, bisnis properti penuh dengan spekulasi untuk bisa mendapatkan value gain yang tidak terkirakan. Di sinilah kesalahan kebijakan pemerintah hingga saat ini, yaitu membiarkan praktek spekulasi nilai lahan di dalam bisnis properti.

Akibatnya, para pengembang bisa mendikte arah perkembangan tata ruang di lahan-lahan yang dimilikinya. Para taipan pengembang bisa berserikat untuk menyusun rencana pembangunan dan melakukan lobi-lobi untuk mendapatkan legitimasi pemerintah. Mereka bisa mengakumulasi keuntungan yang berlipat-lipat melalui peningkatan nilai lahan yang dibiarkan tidak terkendali. Pada proyek reklamasi pantai utara Jakarta, motif itulah yang dipertontonkan di hadapan rakyat yang masih banyak susah hidupnya. Kekuatan lobi para taipan pengembang pun bisa memasukkan kepentingannya melalui paket ekonomi ke-13 yaitu mengenai kemudahan perizinan bisnis properti.

Di negara-negara Asia yang sudah lebih maju pembangunan kota-kota dan permukimannya seperti Jepang, Singapura, Taiwan, dan kini Korea Selatan, Malaysia dan China, peran pemerintah sangat kuat untuk mengendalikan nilai lahan (land value gain capture management). Di negara-negara tersebut, selalu pengembang publik yang memimpin setiap pembangunan kota atau pengembangan permukiman baru. Itulah konsep yang dikenal sebagai public sector led development yang sebenarnya sejalan dengan ruh pasal 33 UUD 1945 dan butir Nawacita mengenai hadirnya negara. Sedangkan para pengembang swasta berbaris rapi mengisi daftar investasi di kawasan yang telah disiapkan terlebih dahulu. Badan-badan publik yang kuat dan profesional seperti HDB dan URA di Singapura, UR di Jepang, KLHC di Korea Selatan, PKNS dan Iskandar Development Authority di Malaysia, adalah contoh dari penerapan konsep tersebut. Bisa dikatakan semua pengembang publik di negara-negara itu lebih kuat dari pengembang swastanya dan bisa secara efektif mengendalikan ruang untuk kepentingan sosial, ekonomi maupun lingkungan secara berkelanjutan.

Di Indonesia, praktek pelemahan pengembang publik sudah terjadi sejak tahun 1990-an, yang dibarengi dengan menguatnya pengembang-pengembang swasta untuk langsung membuka lahan dan memimpin spekulasi pembangunan kota-kota. Epicentrumnya ada di Jabodetabek, sebagai wilayah dengan pertumbuhan urbanisasi tertinggi. Pemerintah membiarkan mereka menguasai tanah perkebunan hingga beribu-ribu hektar (Serpong), lahan milik kehutanan (Kapuk), angkatan laut (Gading) dan berbagai lokasi strategis lainnya. Sedangkan pengembang publik dibiarkan semakin mengecil, hidup segan mati tak mau. Sementara fiskal negara berpuluh-puluh triliun setiap tahun dihabiskan untuk proyek-proyek prasarana kota dan permukiman yang tersebar-sebar tidak terencana berbasis kawasan.

Melanjutkan pembiaran dominasi bisnis properti yang spekulatif inilah kesalahan mendasar Ahok dan pemerintahan yang sekarang. Di tengah arus urbanisasi yang tinggi dan kesusahan masyarakat golongan bawah untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak dan terjangkau, berbagai konsesi properti terus diberikan di Jakarta, Jabodetabek serta di kota-kota besar lainnya. Terutama reklamasi di pantai utara Tangerang maupun Jakarta. Padahal justru seharusnya pengendalian oleh pemerintah di Jabodetabek semakin kuat, mengingat pengendalian urbanisasi adalah untuk kepentingan publik dan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selain itu, penggusuran demi penggusuran yang dilakukan Ahok seperti mendapat restu dari pemerintah pusat dan menjadi contoh yang ditiru pula oleh kepala daerah lainnya. Padahal aksi tersebut telah menyengsarakan beratus-ratus keluarga miskin di Jakarta. Tanpa disadarinya, keberpihakannya pada para taipan properti dan aksi-aksi penggusuran tersebut telah membuat rasa kebencian dari rakyat kecil dan para pegiat LSM semakin bertumpuk-tumpuk.

Menghadapi situasi yang berbahaya ini, pemerintah hendaknya tidak lagi berdiri memihak golongan politik tertentu, melainkan segera melakukan aksi-aksi kenegaraan yang adil dalam menegakkan hukum. Jika Ahok memang harus dihukum, maka relakanlah dia, demi hukum dan demi keadilan.  Selanjutnya bagi para taipan pengembang properti di tanah air, tentunya tidak ingin mendapatkan serangan balik akibat langkah-langkahnya yang keliru karena ingin mendominasi pembangunan di tanah air. Pemerintah pun hendaknya menghentikan iklim pembiaran yang spekulatif, lalu segera mengambil alih dan memimpin pembangunan kota dan pengembangan kawasan permukiman dengan menyusun rencana yang matang, membuat landasan peraturan dan menunjuk lembaga-lembaga negara yang berkompeten untuk itu. Marilah kita jaga keutuhan bangsa ini dengan memperbaiki berbagai kekeliruan yang tidak perlu dan menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.


Dipublikasi di Medium Forum Kampung Kota, 20 November 2016


Dua Tahun Perumahan Rakyat di Bawah Pemerintahan Jokowi-JK

Catatan Perumahan Rakyat di awal pemerintahan Jokowi-JK pada akhir tahun 2014 sudah diramaikan oleh pembubaran kembali Kementerian Perumahan Rakyat yang kemudian digabung dengan Kementerian PU sehingga menjadi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera atau PUPR). Di masa pemerintahan Soeharto, urusan Perumahan Rakyat menjadi salah satu pilar pembangunan di bidang kesejahteraan (sandang, pangan dan papan/pera) sehingga kelembagaan kementerian sangat stabil (1978-1998). Namun di era reformasi, kementerian ini berulangkali dibentuk dan dibubarkan. Meskipun urusan Perumahan Rakyat tetap ada, tapi keberadaannya jelas turun tingkat karena tidak memiliki Kementerian tersendiri. Padahal target merumahkan seluruh rakyat secara layak sebagai amanat UUD 1945 pasal 28H semakin jauh dari terpenuhi dengan semakin membengkaknya angka housing backlog. Dari data Sensus BPS, jika pada tahun 2000 ada 4,3 juta unit housing backlog, maka pada tahun 2010 membengkak menjadi 13,5 juta (13.505.866) unit.
Diturunkannya kelembagaan untuk menangani urusan Perumahan Rakyat di hadapan masih terus membengkaknya angka housing backlog sudah menunjukkan sebuah paradoks pembangunan di masa pemerintahan Jokowi-JK. Namun paradoks ini sepertinya ingin dipermak dengan mempertanyakan dan bahkan mengutak-atik data housing backlog yang ada. Pada awal 2015 dikeluarkan data baru angka housing backlog 7,6 juta unit berdasarkan kepenghunian (Perpres No.2 Tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019), dan menyebutkan angka housing backlog 13,5 juta itu adalah berdasarkan kepemilikan. Mungkin dikiranya dengan adanya angka housing backlog yang baru (7,6 juta unit) itu, nuansa paradoks dalam urusan Perumahan Rakyat agak sedikit terobati. Padahal data baru tersebut sama sekali tidak merubah fakta yang tetap menunjukkan kondisi darurat Perumahan Rakyat. Masyarakat miskin dan berpendapatan rendah masih menghadapi kesulitan yang besar untuk bisa memenuhi hak dasar akan tempat tinggal yang layak dan terjangkau, terutama di kota-kota besar.
Apakah memang bisa demikian? Sebenarnya angka 13,5 juta (13.505.866) housing backlog (Sensus BPS 2010) diperoleh dari selisih jumlah rumah tangga total (61.390.300) dan jumlah rumah tangga yang tinggal di rumah milik sendiri (owner occupied house) yaitu sebanyak 47.884.434 ruta. Meskipun belum terlalu presisi, namun angka ini tidak terlalu salah, karena menunjukkan fenomena makro kebutuhan perumahan rakyat. Asumsinya, untuk sementara mereka yang tinggal di rumahnya sendiri tidak mengalami masalah. Mereka sudah memiliki secure tenure yang menjadi modal dasar untuk tumbuhnya kepedulian untuk terus meningkatkan kualitas rumahnya.
Sedangkan yang 13,5 juta, masalahnya bervariasi, dari rumah tangga yang tinggal di permukiman kumuh, permukiman ilegal, mereka yang menyewa tanah untuk dibangun rumah, menyewa rumah, mengontrak atau menumpang dan masih banyak sekali jenis-jenis penghuniannya. Baik yang formal dan terutama yang infomal, jelas-jelas menunjukkan kebutuhan rumah. Angka ini menunjukkan mereka yang bermasalah dengan menyewa, mengontrak atau menumpang! Mereka yang terpaksa pindah kontrakan mencari yang lebih murah, mereka yang terpaksa pindah kos-kosan ke tempat yang lebih jauh, mereka yang ngemplang uang sewa akibat tidak mampu, mereka yang terus "ngegondeli" rumah orangtuanya, dan mereka yang menyewa di rumah yang tidak layak, dsb. Apa mereka ini semuanya tidak dihitung housing backlog? Hanya karena mereka dianggap belum tentu membutuhkan rumah milik?
Mereka secara umum memang kekurangan rumah yang layak untuk dihuni. Mereka membutuhkan rumah-rumah sewa murah yang layak dan rumah milik yang mampu mereka jangkau. Mungkin ada sedikit yang tidak bermasalah dari golongan menengah atas yang mengontrak rumah atau apartemen mewah. Golongan ini memang tidak layak dihitung sebagai housing backlog, namun diperkirakan jumlahnya sangat sedikit. Memang sebaiknya ada survey lebih rinci yang menanyakan para penyewa rumah ini, apakah jika ada rumah sewa yang lebih layak dan lebih terjangkau dan berada di lokasi yang lebih strategis, mereka akan berminat? Inilah survey menggunakan metoda well informed choices yang patut dijalankan di setiap daerah perkotaan. Adanya data yang lebih rinci ini tidak mengurangi pentingnya data angka housing backlog nasional tersebut sebagai gambaran makro.
Kesimpulannya, data housing backlog 13,5 juta itu masih sangat relevan dijadikan acuan makro kebutuhan perumahan rakyat. Baik yang dihitung di dalamnya rumah-rumah yang lokasinya di permukiman kumuh maupun mereka yang belum memiliki rumah karena menyewa atau mengontrak. Juga tidak perlu diembel-embeli dengan angka backlog kepemilikan, karena memang bukan berarti mereka harus memiliki rumah. Yang salah itu justru memberi embel-embel backlog kepemilikan, karena mengarahkan pada respon kebijakannya adalah menyediakan program rumah milik sebanyak 13,5 juta unit. Padahal selain program rumah milik, justru yang perlu dikembangkan adalah program rumah sewa yang layak dan terjangkau di perkotaan.
Lalu bagaimana dengan angka housing backlog 7,6 juta unit (berdasarkan kepenghunian) di dalam RPJMN itu, yang kesannya hanya ingin menutup-nutupi parahnya pembengkakan kekurangan rumah di tanah air? Ternyata angka ini lebih tidak jelas dan sangat kasar, karena dihitung berdasarkan jumlah keluarga dikurangi jumlah bangunan rumah di seluruh Indonesia. Padahal pada kenyataannya tidak ada itu 7,6 juta keluarga yang "keleleran" yang tidak punya rumah. Juga tidak seluruhnya satu keluarga tinggal di satu rumah. Apalagi jika perhitungan backlog penghunian tersebut maksudnya setiap keluarga tidak diwajibkan untuk memiliki rumah, dan bisa menghuni dengan cara sewa/kontrak, justru semakin tidak jelas karena sumber datanya sendiri sangat kasar dan tidak ada menunjukkan berapa yang milik, berapa yang sewa, dan sebagainya.
Jadi angka housing backlog 7,6 juta ini tidak perlu dan justru bisa menyesatkan! Sebaiknya angka housing backlog yang 13,5 juta itu tetap digunakan saja untuk memberi gambaran kebutuhan perumahan secara makro. Apalagi sensus berikutnya baru diadakan pada 2020, dan sangat bisa menunjukkan tren pembengkakan housing backlog yang sebenarnya, sebagaimana pembengkakan dari tahun 2000 ke tahun 2010 itu!
Lebih jauh, data membengkaknya housing backlog yang hendak ditutup-tutupi itu sebenarnya menunjukkan bahwa urbanisasi di kota-kota besar di tanah air masih belum bisa dikelola secara berkelanjutan. Ekonomi kota bertumbuh, golongan menengah atas semakin kaya, namun belum mampu dikelola secara berkeadilan dan seimbang antara pertumbuhan dan pemerataan. Akibatnya kaum pendatang dari golongan miskin dan berpendapatan rendah semakin banyak dan semakin tidak mampu menjangkau tempat tinggal yang layak. Mereka terpaksa tinggal di lingkungan yang bukan haknya dan tata ruang yang bukan peruntukannya. Dari kondisi seperti Itulah angka housing backlog itu muncul!
Artinya, menangani masalah Perumahan Rakyat juga berarti membenahi pengelolaan pembangunan kota. Pemerintah tidak bisa hanya memperhatikan pembangunan ekonomi kota dan meniadakan kaum miskin kota hanya dengan isu ketertiban dan aspek legal semata, dan menikmati pertumbuhan kota hanya untuk segelintir kelompok menengah dan atas, termasuk aparat pemerintah kotanya. Berani mengelola pertumbuhan kota berarti berani mengelola kebutuhan kaum pendatang dan memberdayakan mereka. Termasuk menyediakan berbagai pilihan tempat tinggal yang layak dan terjangkau bagi golongan bawah dan miskin kota.
Itulah makna angka housing backlog itu, yang seperti alarm dihidupkan setiap 10 tahun sekali oleh BPS untuk mengevaluasi arah kebijakan dalam pembangunan kota dan penyediaan perumahan rakyat. Bukan pula angka housing backlog itu dipakai hanya untuk menetapkan besaran angka-angka proyek perumahan sebagai justifikasi penggelontoran belanja anggaran negara. Dan pembahasan ini belum menyentuh proyek-proyek itu, seperti rumah susun sewa, bedah rumah, kredit rumah bersubsidi, bantuan prasarana umum, dsb, yang seharusnya bisa menjawab permasalahan Perumahan Rakyat yang sebenarnya dihadapi rakyat. Jika di hulu perencanaan saja sudah salah kaprah, maka tidak mengherankan jika program Perumahan Rakyat nanti tidak akan bisa menjawab kebutuhan rakyat secara efektif.
UN-Habitat (lembaga PBB di bidang perumahan, permukiman dan perkotaan) menyebutkan bahwa hanya ada dua golongan negara, yaitu pertama, negara-negara yang sudah memiliki strategi dan berada di jalan yang benar dalam memenuhi perumahan rakyat menuju pengurangan housing backlog secara berarti dan menata kota-kotanya menuju kota yang berkelanjutan. Kedua, negara-negara yang masih berada di jalan kegelapan dalam urusan ini. Golongan negara kedua ini pun ada yang tetap tidak menyadari kondisinya dan suka merekayasa data dan terus melakukan pencitraan di forum-forum internasional. Namun ada pula negara-negara yang yang terus melakukan pembelajaran dan berusaha keras untuk keluar dari perangkap urbanisasi.
Tampaknya Perumahan Rakyat di Indonesia hingga 2 tahun masa pemerintahan Jokowi-JK ini masih belum keluar dari perangkap urbanisasi yang tak kunjung mampu dikelola dengan baik itu. Perumahan Rakyat juga belum bisa menemukan arah kebijakannya secara terpadu dengan Pembangunan Kota (Housing and Urban Development) Akibatnya, angka housing backlog terus membengkak dan begitu juga permukiman kumuh perkotaan yang terus bertambah. Sedangkan beberapa kepala daerahnya seperti putus asa dan lebih memilih melakukan penggusuran demi penggusuran.


Dipublikasi di 
TRANSINDONESIA.CO, 21 October 2016