Minggu, 24 Juli 2016

Politisasi Bantuan Perumahan Swadaya ?


Di dalam sebuah acara Rapat Koordinasi Perumahan Rakyat Tahun 2014, diperoleh informasi mengenai program perumahan swadaya yang dijalankan Kementerian Perumahan Rakyat. Dari alokasi Dipa tahun 2014, total alokasi anggaran untuk program bantuan perumahan swadaya sebesar mendekati 2 Triliun rupiah. Hampir semua diarahkan untuk kegiatan nomor 3792, yaitu bantuan stimulasi peningkatan kualitas perumahan swadaya untuk 200.000 unit rumah tidak layak huni, dengan anggaran sebesar total 1.926.204.400.000 rupiah atau hampir 2 triliun rupiah.
Dari alokasi tersebut, untuk rumah tidak layak huni Kondisi Berat diberikan 15.000.000 rupiah per unit sebanyak 20.000 unit rumah, untuk rumah tidak layak huni Kondisi Sedang diberikan 7.500.000 rupiah per unit sebanyak 175.000 unit rumah, dan untuk rumah tidak layak huni Lokasi Khusus diberikan 30.000.000 rupiah per unit sebanyak 5.000 unit rumah.
Rancangan program perumahan swadaya tersebut mendapat banyak komentar, masukan maupun kritik dari para peserta rapat. Ada banyak pokok persoalan yang mengundang perdebatan sengit, baik dalam hal pilihan kebijakan dan strategi di hulu maupun dalam hal mekanisme operasionalisasi dan evaluasi di lapangan.
Pertama adalah soal keswadayaan masyarakat dalam penyediaan rumah yang menjadi tujuan program tersebut. Aspirasi daerah-daerah menunjukkan minat yang tinggi untuk mendapatkan program yang dinamai Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) tersebut sehingga selalu meminta tambahan alokasi anggaran dan jumlah unit BSPS. Yang menjadi pertanyaan, bukan-kah permintaan tambahan program ini bisa diartikan keswadayaan yang semakin menurun? Demikian pula sebaliknya, bukankah jika semakin tidak menginginkan program berarti positif, yaitu indikasi semakin meningkatnya keswadayaan masyarakat di daerah tersebut? Yang jelas, fenomena ini menunjukkan program BSPS tersebut memang diminati oleh para elit di daerah, baik elit di pemerintahan maupun elit politisi.
Namun persoalan tingkat keswadayaan masyarakat masih belum mendapat penjelasan yang memadai. Padahal tingkat keswadayaan yang menjadi tujuan sebenarnya dari program ini tidak dijumpai dalam pengembangannya lebih jauh di dalam perangkat evaluasi kinerja program. Seperti apakah yang dimaksud dengan keswadayaan di sini? Apakah paket bantuan BSPS berhasil meningkatkan keswadayaan dari si penerima manfaat? Artinya, program BSPS ini diluncurkn begitu saja tanpa adanya perangkat evaluasi mengenai tujuan program ini sendiri.
Persoalan kedua adalah dari sisi kebijakan bantuan untuk rumah tidak layak huni. Ternyata ada banyak kementerian yang menjalankan program sejenis. Selain Kementerian Perumahan Rakyat, program sejenis dijalankan oleh Kementerian Sosial yang namanya Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni. Demikian pula ada program sejenis di Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kondisi seperti ini menunjukkan adanya ketidakjelasan kebijakan dan penugasan lembaga pemerintah. Akibatnya terjadi tumpang tindih program-program sejenis, yang selain menunjukkan tidak adanya arah kebijakan yang jelas, juga mengganggu evaluasi program, ketika terjadi tumpang tindih klaim pada objek rumah yang sama.
Di sisi lain, cukup mengherankan juga, mengapa program bantuan seperti ini begitu diminati banyak kementerian sekaligus? Apakah karena skema program yang dipandang cukup sederhana meskipun seharusnya tidak demikian sehingga mudah ditiru dan bisa langsung digelontorkan? Apakah karena ada tujuan-tujuan lainnya di balik itu, seperti tujuan-tujuan politis?
Persoalan ketiga adalah dari sisi kebijakan fiskal. Bagaimana sebenarnya kebijakan fiskal untuk bantuan BSPS? Kebijakan fiskal yang berisi anggaran belanja dan pendapatan keuangan negara seharusnya memberi batasan alokasi yang jelas untuk bantuan BSPS. Keuangan negara tidak bisa diberikan begitu saja kepada masyarakat. Harus ada justifikasi sosial (kemiskinan) dan pembatasan alokasi anggarannya.
Namun pada prakteknya, kebijakan fiskal bantuan kemiskinan untuk program BSPS ini tidak begitu jelas jika melihat pertumbuhan alokasi BSPS yang meningkat sangat luar biasa. Dari target rencana strategis sebanyak 50.000 unit rumah selama lima tahun (2009-2014) hingga tahun 2014 akan disalurkan total sebanyak 677.000 unit lebih, yang berarti terjadi kenaikan lebih dari 1300 %. Kenaikan setiap tahunnya juga sangat luar biasa pada tahun 2014, yaitu dari semula sekitar 30 ribuan unit pada tahun 2009, kemudian meningkat menjadi 200.000 unit pada tahun 2014. Kenaikan yang sangat pesat ini tentunya menimbulkan pertanyaan yang mendasar, bagaimana sebenarnya kebijakan fiskal untuk bantuan sosial di tanah air? Lebih jauh, apa ada tujuan-tujuan politis yang terselubung di balik program ini?
Persoalan keempat, dari sisi mekanisme pelaksanaan dan evaluasi program yang sangat tidak jelas. Pertama-tama adalah tidak ada kejelasan instrumen apa yang digunakan untuk menentukan daerah mana yang berhak mendapat program, berapa ratus atau berapa ribu alokasi unit di setiap daerah, dan rumah siapa-siapa saja yang berhak mendapat program? Namun tanpa proses yang akuntabel kesemuanya ditetapkan melalui surat-surat keputusan Menteri. Berbeda dengan program BLT yang cukup jelas kriteria penerimanya, program BSPS ini tidak memiliki mekanisme tersebut. Akibatnya timbul iklim spekulatif yang memberi peluang yang sangat besar untuk menyimpangkan program ini.
Persoalan kelima, inefektifitas program perumahan swadaya. Dari uraian-uraian persoalan yang menyelimuti program BSPS yang ternyata berhasil membobol anggaran negara hingga triliunan rupiah tanpa akuntabilitas tersebut, bisa dilihat sebagai penyimpangan tujuan perumahan swadaya itu sendiri. Tujuan keswadayaan sebagaimana diamanatkan Pasal 21 Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP no. 1 Tahun 2011) yang menyebutkan bahwa rumah swadaya diselenggarakan atas prakarsa masyarakat secara berkelompok, selalu diabaikan. Padahal perumahan swadaya berbasis pemberdayaan kelompok adalah yang utama dari sistem perumahan swadaya itu sendiri.
Sedangkan skema bedah rumah yang sifatnya orang-perorang itu pada dasarnya adalah skema karitatif (bantuan sosial) yang mem-bebani fiskal negara sehingga seharusnya sangat dibatasi. Namun sangat mengherankan, mengapa skema bansos ini begitu disenangi dan didukung dengan gelontoran anggaran secara besar-besaran? Akibatnya, sistem perumahan swadaya berbasis pember-dayaan kelompok tidak kunjung berkembang hingga sekarang, yang akhirnya berdampak pada rendah atau tidak adanya dukungan perumahan swadaya untuk mengurangi angka housing backlog dan luasan permukiman kumuh.
Sebagai langkah ke depan, Perumahan Swadaya Berbasis Kelompok harus menjadi program prioritas dan lebih menyasar keberdayaan komunitas melalui pembangunan perumahan dan permukimannya. Artinya, perumahan swadaya adalah instrumen penting pemberdayaan komunitas. Pendekatan ini mendudukkan masyarakat sebagai subyek, yaitu pelaku pembangunan di bidang perumahan bukan sebagai obyek atau sekedar konsumen. Untuk penyediaan program secara efektif, Perumahan Swadaya Berbasis Kelompok mensyaratkan adanya basis data yang akurat mengenai kelompok masyarakat yang paling bermasalah dalam hal perumahan dan permukimannya; Intervensi pada sumber-sumberdaya kunci dalam hal perolehan tanah, perijinan, pengembangan kawasan dan penyediaan biaya; dan penyediaan sistem kelembagaan dan sistem pendanaan yang sesuai.
Memperhatikan beberapa kriteria tersebut, maka prioritasnya harus diarahkan pada komunitas-komunitas di lokasi-lokasi permukiman kumuh maupun squatter di kota-kota metropolitan dan kota-kota besar. Selain itu, ada pula komunitas-komunitas yang berbasis tempat kerja (work-based housing), yaitu mereka dari kalangan pekerja kelas bawah perkotaan, para pekerja pabrik, mereka yang memiliki industri rumah-tangga, dan mereka yang memiliki kesamaan pekerjaan di perkotaan seperti pengemudi.




***


Kamis, 19 Mei 2016

Kota Baru dan Masyarakat Baru

Menghadapi merebaknya kejahatan seksual pada anak, tampaknya pemerintah belum punya strategi yang menjanjikan. Banyak pihak yang berupaya menerbitkan peraturan kebiri dan perhatian masih di seputar pemberatan hukuman dan efek jera yang kuat. Perdebatan malah mempersoalkan bentuk aturan, apakah mau Undang-undang atau Perppu? Padahal laju bermunculannya kasus demi kasus baru di seluruh penjuru tanah air seperti tak tertahan. Yang jelas, keadaan ini sudah tergolong darurat kejahatan seksual dan pemerintah hanya bisa bereaksi di tingkat hilir dan setelah kasus-kasus bermunculan.

Kondisi seperti ini benar-benar sudah menunjukkan masyarakat kita yang sedang sakit. Bukan hanya darurat kejahatan seksual, disamping itu masih banyak penyakit di masyarakat kita yang semakin tidak terkendali. Penangkapan dalam peredaran narkoba yang semakin menggila membuat penjara semakin penuh sesak dan kekurangan sipir dan ruang penjara. Perilaku menyimpang semacam LGBT semakin banyak dijumpai, kejahatan pedofil terus berulang-ulang, kekerasan di tengah-tengah keluarga semakin sering terjadi. Penyakit sosial apa lagi yang tidak kita jumpai di masyarakat kita?

Langkah apa yang sebenarnya bisa dilakukan pemerintah untuk memutus mata rantai berbagai kejahatan dan penyakit sosial seperti ini? Strategi apa yang bisa dikembangkan di tingkat hulu dan bukan sekedar reaktif ataupun bicara soal pemberatan hukuman? Kalau kita perhatikan kondisi tempat tinggal dan lingkungan permukiman perkotaan di sekitar kita, tampaknya sudah ada jawaban mengapa semua masalah sosial ini semakin memburuk. Salah satu jawabannya adalah kondisi perumahan dan permukiman di kota-kota tanah air yang semakin tidak manusiawi untuk sebagian besar penduduknya.

Menurunnya kualitas kehidupan dan masyarakat yang sakit tidak bisa kita lepaskan dari krisis perumahan dan perkotaan di Indonesia. Meskipun tumbuh semakin pesat, namun kota-kota semakin tidak manusiawi. Proses urbanisasi yang cepat lebih banyak mendatangkan kemiskinan ketimbang kesejahteraan. Masyarakat kota di Indonesia selalu mengeluh soal buruknya kualitas ruang kota dan berbagai pelayanan prasarana dasar seperti air bersih, sanitasi, listrik, perumahan, transportasi dan sebagainya. Sedangkan kota-kota baru yang dibangun pengembang swasta justru mendorong kepemilikan mobil yang berlebihan dan menyebabkan kemacetan yang parah. Perkembangan kota-kota terus menjalar-jalar tidak terkendali menyebabkan struktur ruang kota yang tidak menentu. Begitulah umumnya gambaran kota-kota besar di Indonesia sampai hari ini.

Berdasarkan data survey, pelayanan air minum dan sanitasi di perkotaan rata-rata masih sekitar 50%. Gambaran itu sejalan dengan krisis perumahan rakyat yang semakin akut. Angka kekurangan rumah (housing backlog) di Indonesia terus meroket hingga diperkirakan mencapai sekitar 17 juta unit pada tahun 2015 (hasil proyeksi Sensus BPS 2010, dari 13,6 juta dan rata-rata 700 ribu unit kekurangan rumah setiap tahun). Begitu juga permukiman kumuh yang semakin luas berdasarkan Sensus BPS yang bertambah rata-rata lebih dari 1.000 hektar per tahun. Delapan tahun sejak ditetapkannya Undang-undang Tata Ruang 26/2007 yang menargetkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebesar 30%, kota-kota besar di Indonesia tidak mampu menambah ruang terbuka hijau secara berarti. 

Semua data ini menyisakan pertanyaan akan efektifitas program-program penyediaan perumahan dan permukiman yang terus dijalankan selama ini. Apa pula manfaat ratusan triliun anggaran negara yang dikucurkan selama ini? Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan meningkatnya urbanisasi tidak mampu direspon kebijakan perumahan dan perkotaan yang efektif. Justru mengakibatkan kota-kota semakin tidak manusiawi dan tidak bisa lagi diharapkan sebagai tempat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bahkan sangat ironis, kota-kota justru menjadi sumber penyakit sosial. Kondisi seperti ini tidak dapat terus dibiarkan ataupun ditangani secara biasa-biasa saja. 

Indonesia membutuhkan berbagai terobosan di bidang perumahan dan pembangunan kota-kota dalam rangka mencapai integrasi sosial di dalam suatu harmoni ruang kota yang ramah lingkungan dan mencapai target kota-kota yang bebas kumuh serta sekaligus mengentaskan kemiskinan.Tujuannya bukan sekedar untuk menciptakan peroyek-proyek infrastruktur fisik, namun dalam upaya mewujudkan visi membangun Masyarakat Indonesia Baru yang moderen, semakin berdaulat, berkepribadian dan berdikari.

Pemerintah harus segera menyusun program-program terobosan seperti penyediaan perumahan publik, perumahan swadaya, pemberdayaan komunitas, penataan kota secara terpadu dan pembangunan kota-kota baru dalam jumlah yang signifikan dan dalam waktu yang secepat-cepatnya. Meskipun sederhana, namun semua program harus menjamin terpenuhinya standar kelayakan bangunan dan prasarana dasar serta pengelolaannya. Indonesia harus segera memiliki cetak biru untuk pembangunan kawasan-kawasan permukiman baru dan kota-kota baru yang menyediakan semua kebutuhan dasar secara layak dan berstandar setidaknya di 20 (dua puluh) kota-kota metropolitan dan kota-kota besar di seluruh tanah air. Beberapa konsep harus segera diterapkan, seperti kapasitas kelembagaan dan manajemen aset publik, konektivitas transportasi publik dan prasarana dasar, kemandirian dan proses kelengkapan fasilitas, serta tata bentuk dan kompaksitas bangunan, tata ruang dan peraturan zonasi kawasan.

Indonesia sudah jauh tertinggal karena terlalu lama membiarkan pembangunan permukiman dan kota-kota dikuasai oleh bisnis properti semata untuk memenuhi golongan menengah atas. Sedangkan bagi golongan menengah bawah, permukiman mereka menjadi kumuh karena dibiarkan tumbuh secara tidak terencana dan jauh dari standar kelayakan dan pengelolaan lingkungan yang baik.



Gambar. Perumahan dan Kota Baru untuk mewujudkan Masyarakat Indonesia Baru (hdb.org)


Strategi pembangunan permukiman dan perkotaan tidak diawali semata oleh pembuatan gambar masterplan ataupun diakhiri dengan serah terima bangunan. Seluruh proses perencanaan, pembangunan dan pengelolaan harus direncanakan secara komprehensif dan terpadu dengan memperhatikan berbagai aspek sosial, ekonomi dan lingkungan.

Pembangunan kota-kota baru harus diprakarsai langsung oleh pemerintah dan direncanakan sebagai tempat-tempat tinggal warga masyarakat dari beragam kelas sosial dan ekonomi. Mereka akan hidup bersama secara harmonis hingga mereka merasa betah seperti di rumah sendiri. Tempat tinggal dimana penduduknya bisa pergi ke semua tempat kerja yang terhubung dengan transportasi publik yang nyaman dan terjangkau. Anak-anak mereka pergi ke sekolah-sekolah dan ibu-ibu pergi ke pasar, rumah sakit dan balai warga, semuanya dalam jarak perjalanan yang dekat di suatu lingkungan hunian yang terencana.



Gambar.  Kota Baru berkepadatan tinggi dengan standar layak dan berkualitas (hdb.org)


Dalam rangka membangun Masyarakat Indonesia Baru yang lebih sejahtera, setidaknya ada lima strategi yang perlu disusun secara seksama, yaitu:

1)  Membangun dan memberdayakan komunitas permukiman, yang bertujuan untuk mewujudkan komunitas yang hidup semakin sejahtera dan terus menerus memupuk modal sosial dan budaya yang berkepribadian di masyarakat.

2)  Tata guna lahan campuran dan kompak (compact-city and compact-housing) yang tidak hanya ditandai oleh kepadatan yang tinggi, namun juga dibarengi standar kualitas ruang dan infrastruktur yang baik dan fungsi-fungsi campuran antara hunian dan berbagai fasilitas sosial dan umum. Strategi ini harus dipadukan dengan infrastruktur dan sistem transportasi umum yang nyaman dan terjangkau.

3)  Ruang terbuka hijau untuk semua, dimana penyediaan perumahan rakyat dan pembangunan kota-kota harus sudah menerapkan konsep ruang terbuka hijau dan ruang terbuka biru sebagai ruang publik yang memadai, yaitu minimal 50% sampai 70% dari total luas wilayah. Baik dalam bentuk hutan kota, badan-badan air, kebun dan taman, jalur pedestrian, hingga ruang hijau di sela-sela kantong parkir dan di atas atap-atap bangunan.

4)  Penyediaan perumahan rakyat (people’s housing) yang terhindar dari bias perumahan komersial, yaitu dimana peran langsung negara hadir dalam bentuk sistem penyediaan perumahan yang baik (housing delivery system). Semuanya dalam bentuk hunian campuran multi-strata sosial dan multi-tingkat pendapatan yang direncanakan dan dikelola secara harmonis sesuai kebutuhan yang beragam. Peran negara secara langsung diperlukan melalui penyediaan multi-moda perumahan rakyat, yang meliputi perumahan umum, perumahan swadaya dan perumahan sosial. Sedangkan moda perumahan komersial agar semakin difasilitasi dan dikendalikan tanpa dibebani kewajiban-kewajiban tambahan yang memberatkan dunia usaha.

5)  Pembangunan Kota-kota Baru. Berbagai program perumahan dan infrastruktur kota yang dijalankan selama ini sudah tidak memadai lagi, karena lingkungan perkotaan yang semakin tidak manusiawi. Program ini tidak boleh dijalnkan sebatas kumpulan proyek yang tidak menyentuh akar masalah. Di sinilah pentingnya menghadirkan program pembangunan kota-kota baru yang direncanakan dan dikelola secara komprehensif dan dipimpin langsung oleh pemerintah melalui organisasi yang kapabel dan profesional.




***




Jumat, 11 Maret 2016

Jehansyah: Pungutan Tapera Potret Kemalasan Pemerintah dan DPR

Properti
Kata Pengamat, Pungutan Tapera Potret Kemalasan Pemerintah dan DPR

Jumat, 26 Februari 2016

Kegemaran Gubernur Ahok Menggusur Kaum Miskin Jakarta

Penggusuran kaum miskin kota yang dilakukan di Jakarta semakin menjadi-jadi sejak Pemprov DKI dipimpin Gubernur Ahok pada akhir tahun 2014. Berpuluh-puluh kasus penggusuran paksa dengan kekerasan terus meneror kaum miskin di Jakarta. Beberapa kasus terakhir semakin mendapatkan liputan nasional. Setelah sebelumnya membuat heboh dengan penggusuran kampung Betawi di Kampung Pulo, lalu menyusul penggusuran di kampung Bukit Duri dan Pinangsia, kini penggusuran paksa akan menimpa pula warga miskin di Kalijodo, di perbatasan Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Penggusuran paksa semakin masif dengan kehadiran berbagai pasukan Brimob dan TNI. Kekerasan negara terhadap warganya sendiri semakin berlebih-lebihan dan terus dipertontonkan.  

Di setiap lokasi penggusuran ada pula isu-isu yang selalu diangkat sehingga penggusuran dikesankan ada pembenarannya. Jika di Kampung Pulo diangkat isu kawasan resapan, maka di Kalijodo diangkatlah isu prostitusi. Padahal penataan kawasan resapan yang jauh lebih prioritas di kompleks-kompleks perumahan di Jakarta Utara sama sekali tidak disentuh. Sedangkan prostitusi sebagai penyakit masyarakat justru akan dilokalisasi. Demikianlah isu-isu tersebut asal saja digunakan demi kelancaran penggusuran paksa yang menjadi target sebenarnya. 


Diskriminasi dalam Penanganan Permukiman Kumuh

Di dalam penanganan kasus-kasus penggusuran hunian warga Jakarta, Gubernur Ahok selalu  membedakan antara warga DKI Jakarta dan yang bukan. Tindakan yang diskriminatif seperti ini akhirnya membuat setiap penanganan permukiman kumuh tidak pernah diselesaikan secara tuntas. Penggusuran paksa selalu menyisakan warga yang terlunta-lunta mencari tempat tinggal yang layak. Mereka umumnya belum memiliki KTP DKI Jakarta seperti juga banyak pendatang lainnya yang sudah lama tinggal dan bekerja di Jakarta. Dari beberapa kasus penggusuran terakhir di Kampung Pulo, Bukit Duri, Pinangsia dan Kalijodo masih ada ratusan keluarga yang tidak menentu nasib tempat tinggalnya hingga hari ini.
Dari sebuah publikasi yang diterbitkan oleh UN-Habitat (Global Report on Human Settlements: Challenges of Slums, 2003) menjelaskan bahwa tumbuhnya kantong-kantong permukiman kumuh adalah fenomena yang terjadi di seluruh kota-kota besar di negara-negara berkembang. Fenomena global ini terjadi akibat pengaruh industrialisasi dan urbanisasi yang cepat. Namun perbedaannya, negara-negara maju dan hampir maju telah mampu mengendalikan proses urbanisasi dengan baik. Sedangkan kota-kota yang selalu melakukan penggusuran paksa adalah ciri-ciri dari negara yang belum mampu mengelola urbanisasi dan pertumbuhan permukiman kumuh yang cepat.

Dengan demikian, pertanyaannya apakah tindakan diskriminatif seperti ini dapat dibenarkan? Dari literatur UN-Habitat tersebut, bisa dipahami bahwa pokok persoalannya bukanlah masalah administrasi kependudukan. Penanganan permukiman kumuh adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Warga yang tidak mampu ditangani pemerintah daerah harus jadi tanggung jawab pemerintah pusat. Tindakan diskriminatif dari pemerintah daerah tidak dapat dibenarkan begitu saja.

Tanggung Jawab Bersama Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

Tindakan diskriminatif Gubernur Ahok terhadap warga negara Indonesia dalam penanganan permukiman kumuh di Jakarta tidak boleh dibiarkan. Apalagi menara-menara rumah susun yang disediakan di Jakarta banyak yang menggunakan anggaran nasional melalui APBN Cipta Karya maupun Kementerian Perumahan Rakyat. Dalam menangani segala urusan warga masyarakat, termasuk dalam urusan perumahan dan permukiman, Pemerintah Daerah harus selalu bekerja sama dengan Pemerintah Pusat sehingga semua warga negara yang terdampak dapat ditangani secara tuntas.
Ketika permukiman kumuh telah tumbuh dan berkembang sejak lama di suatu daerah, pemerintah yang sekarang tidak bisa menyalahkan pemerintah periode sebelumnya. Pemerintah daerah juga tidak bisa begitu saja membiarkan warga negara yang belum memiliki KTP di daerahnya tidak tertangani. Pemerintah daerah berkewajiban bekerja sama untuk menangani masalah permukiman kumuh.

Di hadapan warga masyarakat, semua periode pemerintahan, semua tingkatan pemerintahan, dan semua lembaga pemerintah dari semua sektor adalah satu. Semuanya sama-sama pemerintah, yang berperan sebagai pelaksana negara di hadapan warga negara yang berdaulat. Tugas pemerintah adalah menggunakan kewenangan yang diberikan untuk mensejahterakan masyarakat, bukan justru menyengsarakannya.

Di tingkat pemerintah pusat, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Direktorat Jenderal Cipta Karya (DJ-CK) memiliki target untuk mencapai zero permukiman kumuh di tanah air pada tahun 2019. Begitu pula DJ Penyediaan Perumahan yang menargetkan untuk mengentaskan angka kekurangan rumah. Ada pula DJ Pembiayaan Perumahan, Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang, yang semuanya memiliki program yang banyak sekali dan sumberdaya anggaran hingga berpuluh-puluh triliun rupiah setiap tahunnya.

Semua program tersebut sangat terkait dengan bagaimana penanganan permukiman kumuh harus ditangani secara bersama-sama di Jakarta. Gubernur Ahok harus meminta bantuan kerja sama dengan Presiden RI untuk kemudian mengkoordinir kementerian-kementerian terkait. Presiden dan pemerintah pusat juga tidak bisa tinggal diam menyaksikan penggusuran paksa dengan kekerasan yang terus dipertontonkan. Sedangkan pada saat yang sama pemerintah pusat terus membelanjakan APBN berpuluh-puluh triliun setiap tahun untuk urusan perumahan, permukiman, pengembangan wilayah, pertanahan dan tata ruang.
Apakah strategi penggusuran paksa dengan kekerasan adalah pendekatan yang direkomendasikan DJ-CK dan DJ-PP dari Kementerian PUPR atau Kementerian ATR? Tampaknya tidak demikian. Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman pasal 81 disebutkan bahwa pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung-jawab melaksanakan pengendalian dalam penanganan kawasan permukiman.


Menikmati Sensasi Drama Penggusuran?

Penggusuran permukiman warga miskin kota yang dipimpin Gubernur Ahok selalu menimbulkan kepanikan di tengah masyarakat.  Sungguh mengherankan, mengapa Gubernur Ahok selalu gemar membuat penggusuran yang gaduh? Tampaknya Pak Gubernur dan jajarannya punya pemikiran jika dilakukan secara bertahap dan terencana maka penggusuran paksa tidak akan sukses. Penggusuran paksa hanya bisa sukses kalau dilakukan secara tiba-tiba, mengejutkan dan tidak memberi kesempatan warga untuk bersiap-siap. Meskipun harga yang harus dibayar adalah kehidupan keluarga-keluarga kaum misin kota yang hubar-habir tak menentu.

Apakah Gubernur Ahok memang menikmati sensasi dari setiap drama penggusuran?  Baginya mungkin jadi sensasi. Tapi bagi warga, penggusuran itu hanya membuat susah. Penggusuran demi penggusuran telah membuat warga masyarakat selalu diliputi rasa takut kalau-kalau rumahnya akan terkena giliran penggusuran. Kebijakan Gubernur Ahok seperti ini benar-benar sudah mengganggu keamanan bermukim (security of tenure). Padahal tugas pemerintah seharusnya menciptakan ketenangan dan keamanan bermukim di tengah-tengah masyarakat.


Menggusur Tanpa Rencana?

Pertanyaannya kemudian, mengapa tidak ada perencanaan dan program penanganan yang baik dalam menata permukiman kumuh di Jakarta? Mengapa tidak dipilih pendekatan yang dilakukan secara bertahap dan benar-benar dipersiapkan? Sepertinya penggusuran permukiman kumuh yang dipimpin Gubernur Ahok di banyak lokasi memang tidak disertai adanya rencana penataan kota yang baik. Meskipun harus mengacu pada RTRW dan RDTR, namun hanya mengandalkan rencana tata ruang saja tidaklah memadai.

Memang di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RTRW) DKI Jakarta 2030 sudah ada penetapan peruntukan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Namun peruntukan ruang hijau di dalam RTRW tidak bisa begitu saja diartikan Gubernur Ahok bisa sesukanya menggusur permukiman yang tidak sesuai peruntukan. Kalau hanya bermodalkan RTRW maka penggusuran bisa terjadi di mana saja dan kapan saja serta meneror siapa saja.


Keharusan Melibatkan Peran Masyarakat

Pasal 131 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menyebutkan bahwa penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan melibatkan peran masyarakat, dengan cara-cara: (1) memberikan masukan dalam penyusunan rencana, pelaksanaan pembangunan, pemanfaatan, pemeliharaan dan perbaikan, dan pengendalian penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, dan (2) membentuk forum pengembangan perumahan dan kawasan permukiman.

Berdasarkan Undang-undang 1/2011 tersebut, maka perencanaan penataan permukiman kumuh di Jakarta haruslah diselenggarakan secara partisipatif. Lokasi-lokasi permukiman kumuh mana saja yang ditetapkan menjadi prioritas penataan kota haruslah dibuat secara transparan. Pembuatan rencana penataan lokasi-lokasi permukiman kumuh tersebut haruslah pula melibatkan masyarakat secara partisipatif dan responsif.


Langkah-langkah Terobosan ke Depan

Rencana penataan kota tidak bisa dilakukan secara mendadak dengan hanya menggunakan alasan ketertiban semata. Justru kesalahan pemerintah adalah melakukan pembiaran sejak lama. Sebaiknya pemerintah segera menyusun program-program penataan kota yang baik untuk segera  disosialisasikan. Kawasan mana saja yang akan dilakukan tahun ini, mana untuk tahun depan, dan seterusnya. Sehingga warga kota bisa ikut berpartisipasi dan melakukan persiapan dalam waktu yang memadai. Dengan adanya sistem perencanaan yang transparan, penyediaan solusi yang sesuai dengan kebutuhan dan adanya persiapan-persiapan yang memadai maka penggusuran paksa dengan kekerasan seharusnya tidak perlu terjadi.

Untuk mencegah terjadinya penggusuran paksa, pemerintah dan berbagai pihak perlu terlebih dahulu melakukan pemetaan permukiman yang tidak sesuai dengan peruntukan. Seperti permukiman kumuh di bantaran sungai, bantaran rel kereta api, kolong jalan layang dan ruang-ruang marjinal kota lainnya yang rawan terhadap penggusuran. Selanjutnya dari hasil pemetaan tersebut Pemprov DKI harus menyusun prioritas penanganan yang segera dituangkan ke dalam program penataan kota yang terpadu dan komprehensif.

Di sisi lain, langkah-langkah persiapan juga harus segera dilakukan seperti menyediakan solusi-solusi perumahan yang memadai dan sifatnya tidak mengurangi kesejahteraan warga. Relokasi ke rumah susun sewa memang menjadi salah satu pilihan solusi, tapi bukanlah satu-satunya solusi. Bagi keluarga-keluarga kecil yang masih belum lama menetap dan sudah memiliki pekerjaan formal, maka solusi rumah susun sewa sangat menyenangkan. Namun bagi keluarga-keluarga besar yang manyandarkan pendapatan dari ekonomi informal dan sudah lama menetap maka tentunya unit 30 m2 di menara rusunawa bukanlah solusi yang tepat.

Untuk itu Pemprov DKI Jakarta bersama-sama Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang harus bekerja keras untuk mengembangkan solusi-solusi terobosan, baik dalam penyediaan lahan, pengembangan wilayah, maupun berbagai bentuk bantuan dalam proses pemukiman kembali. Masih ada pula solusi-solusi lain yang belum dikembangkan seperti perbaikan lingkungan, perumahan swadaya, rumah sosial maupun solusi hunian vertikal di lokasi penataan secara terbatas.


Gubernur Ahok Melanggar Undang-undang Republik Indonesia

Keharusan melibatkan peran serta masyarakat sudah jelas diatur di dalam Undang-undang sebagaimana disebutkan di dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman tersebut. Dengan demikian, jika Gubernur Ahok terus melanjutkan kegemarannya menggusur warga masyarakat miskin di Jakarta tanpa adanya upaya perencanaan bersama secara partisipatif, maka Gubernur Ahok sudah dengan nyata-nyata melanggar Undang-undang Republik Indonesia. Dengan demikian, pengadilan sebenarnya sudah memiliki dasar perturan yang cukup untuk memerintahkan penghentian aksi-aksi penggusuran oleh Pemprov DKI.

Kegemaran pemerintah pusat untuk menghabiskan anggaran negara yang terus diiringi dengan kemalasan pemerintah untuk mengembangkan solusi perumahan dan permukiman akhirnya harus dibayar oleh penderitaan warga masyarakat miskin kota yang terus dihantui rasa ketakutan dalam bermukim. Kondisi seperti ini harus segera dihentikan. Para aparat penegak hukum, baik dari Kepolisian RI, Kejaksaan Agung RI maupun aparat Hankam dari TNI harus berani memilih dan memilah. Apakah membela masyarakat atau hanya dijadikan alat pejabat yang gemar menggusur paksa warga miskin saja? Justru seharusnya aparat hukum berani bertindak menangkap para pejabat tersebut karena memang telah banyak sekali ditemukan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh para pejabat tersebut.


Bandung, 27 Februari 2016
Ir. Moh. Jehansyah Siregar, MT., Ph.D

Dosen KKPP, SAPPK-ITB