Selasa, 28 Maret 2017

DP 0% Masih Belum Jelas



Salah satu paslon Pilkada DKI Jakarta mengkampanyekan program hunian murah di Jakarta dengan DP 0%. Mereka ingin mewujudkan kesejahteraan dengan memberikan kredit rumah yang dipandang memberikan harapan, yakni dengan uang muka atau DP 0%. “Kami akan berikan kredit rumah dengan DP nol rupiah”, ujar salah satu calon dalam Debat Cagub DKI 2017 pada 27 Januari 2017.

Program ini telah menuai perbincangan yang menarik di berbagai kalangan. Namun lebih banyak yang mempertanyakan, karena sebenarnya DP 0% itu belum bisa dibilang program perumahan, melainkan hanya gimmick yang mencitrakan ingin meringankan cicilan rumah warga. Kalau tidak jelas programnya seperti apa, ini sangat berbahaya karena bisa menjadi seperti cek kosong. Bisa saja jatuh jadi program subsidi penuh yang berpotensi membangkrutkan keuangan pemerintah Jakarta. Atau bisa juga mengelabuhi masyarakat yang ternyata misalnya itu bukan program rumah hak milik (SHM) seperti yang dibayangkan masyarakat.

Dari sisi pembiayaan perumahan saja, DP 0% ini konsepnya masih belum jelas. Sumber pembiayaan subsidi itu harus dari dana jangka panjang. Nah ini dari mana sumber dananya? Karena kalau pakai sumber dana komersial pastilah merugikan bank dan mengancam prudensial bank. Kemudian berapa suku bunganya, berapa lama tenor pinjamannya dan bagaimana konsepnya, apakah subsidi uang muka saja atau juga subsidi suku bunga? Semuanya masih belum jelas. Seandainyapun konsep pembiayaannya sudah jelas, maka pertanyaan lainnya housing delivery systemnya seperti apa?

Program perumahan yang jelas dan efektif itu kalau ada konsep housing delivery systemnya secara utuh. Meliputi perencanaan lokasi, konsep kelompok sasaran, skema kelembagaan, pembiayaan dan pengelolaannya. Kemudian, harus jelas juga, berada di moda penyediaan yang mana? Apakah itu public housing, social housing, commercial housing (property business), atau self-help housing seperti ditetapkan pasal 21 Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU 11/2011 mengenai jenis-jenis rumah)?

Jadi jika dilihat dari kerangka housing delivery system, DP 0% ini masih belum jelas mau berada di moda yang mana. Kalau katanya ini konsep rumah milik, berarti ini program subsidi pasar rumah komersial (subsidi KPR). Namun konsep lokasinya, kelompok sasarannya, bagaimana mekanisme penyediaannya, kelembagaannya, dll masih belum jelas.

Akibat ketidakjelasan tersebut, beberapa pihak yang ingin mendukung mencoba menambah-nambah konsep program tersebut. DP 0% ini untuk korban penggusuran, untuk apartemen, dan lain-lain. Misalnya, ada yang menafsirkan itu program seperti model HDB (mirip Perumnas) di Singapura. Padahal HDB itu program public housing yang mirip Rusunawa dan bukan DP 0%. Kalau memang yang hendak diangkat itu program public housing (rumah umum) maka tentunya bukan dengan cara beli-beli rumah yang ada di iklan jual rumah. Jadinya orang memahami itu sekedar bantuan subsidi KPR biasa. Istilahnya upfront subsidy. Ini jauh sekali dengan public housing di atas.

Kalau public housing, yang diangkat itu program penguatan kelembagaannya, konsep pemilihan lokasi (misal dekat stasiun), konsep kelompok sasaran, skema sewa dan sewa beli hak pakai, dsb. Sedangkan DP 0% dalam skema public housing itu bisa saja jadi bagian program. Tapi itu untuk rumah milik hak pakai jangka panjang. Karena tanah (HPL) tetap milik negara yang dikelola lembaga tsb. Tapi tampaknya DP 0% itu bukan mengarah ke public housing. Kalau tetap ada yang mengatakan mungkin, ya bukan itu persoalannya. Sebagai program bantuan pembiayaan pemerintah ya mungkin-mungkin saja. Persoalannya, program penyediaan perumahannya seperti apa?

Jikapun ada yang membandingkan DP 0% dengan aturan program rusunawa yang sekarang, dimana penghuni korban gusuran harus memperpanjang sewa setiap dua tahun, dan maksimal 4 kali perpanjang, memang betul juga, konsep sewa rusunawa seperti itu memang mengusik "security of tenure" dari warga penyewa. Tapi itu karena keterbatasan housing stock, dan bukan kemudian solusinya adalah rumah tapak milik. Perbaiki sistem sewanya dan yang lebih penting, tingkatkan stok unit rusunawa secara signifikan! Sedemikian sehingga bisa menetap di rusunawa di banyak lokasi pilihan dan tidak dibatasi waktu.

Pemerintah pusat sebenarnya juga turut bertanggung jawab, karena dari target 550 ribu unit rusunawa di dalam RPJMN 2015-2019 baru berhasil dibangun kurang dari 40 ribu unit, padahal sudah memasuki tahun ke-3. Ini karena penyediaan rusunawa masih menggunakan konsep bagi-bagi twin-block dan belum ada terobosan strategi penyediaan rusunawa skala besar di kota-kota besar/metropolitan.

Namun demikian, pemerintah tidak bisa juga hanya memberikan solusi tunggal rusunawa. Hal ini telah menimbulkan banyak konflik pada saat terjadi penggusuran-penggusuran. Selain ketersediaan rusunawa dalam jumlah dan lokasi yang memadai, untuk mereka penduduk asli yang sudah lama menetap di kampung kumuh, perlu disediakan pula konsep alternatif seperti rumah deret atau rumah komunitas atau kampung susun yang juga kompak dan berkepadatan tinggi. Konsepnya tentu bukan public housing atau subsidized market housing, melainkan menggunakan pendekatan self-help housing atau rumah swadaya.

Memang perhatian kedua paslon pilgub DKI ini terhadap isu perumahan rakyat sudah sangat besar dan patut kita syukuri. Namun jangan sampai tidak dibarengi dengan konsep dan program yang baik, agar kampanye menjadi bermakna demi tujuan yang murni untuk merumahkan warga Jakarta secara layak dan bermartabat.