Jumat, 26 Februari 2016

Kegemaran Gubernur Ahok Menggusur Kaum Miskin Jakarta

Penggusuran kaum miskin kota yang dilakukan di Jakarta semakin menjadi-jadi sejak Pemprov DKI dipimpin Gubernur Ahok pada akhir tahun 2014. Berpuluh-puluh kasus penggusuran paksa dengan kekerasan terus meneror kaum miskin di Jakarta. Beberapa kasus terakhir semakin mendapatkan liputan nasional. Setelah sebelumnya membuat heboh dengan penggusuran kampung Betawi di Kampung Pulo, lalu menyusul penggusuran di kampung Bukit Duri dan Pinangsia, kini penggusuran paksa akan menimpa pula warga miskin di Kalijodo, di perbatasan Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Penggusuran paksa semakin masif dengan kehadiran berbagai pasukan Brimob dan TNI. Kekerasan negara terhadap warganya sendiri semakin berlebih-lebihan dan terus dipertontonkan.  

Di setiap lokasi penggusuran ada pula isu-isu yang selalu diangkat sehingga penggusuran dikesankan ada pembenarannya. Jika di Kampung Pulo diangkat isu kawasan resapan, maka di Kalijodo diangkatlah isu prostitusi. Padahal penataan kawasan resapan yang jauh lebih prioritas di kompleks-kompleks perumahan di Jakarta Utara sama sekali tidak disentuh. Sedangkan prostitusi sebagai penyakit masyarakat justru akan dilokalisasi. Demikianlah isu-isu tersebut asal saja digunakan demi kelancaran penggusuran paksa yang menjadi target sebenarnya. 


Diskriminasi dalam Penanganan Permukiman Kumuh

Di dalam penanganan kasus-kasus penggusuran hunian warga Jakarta, Gubernur Ahok selalu  membedakan antara warga DKI Jakarta dan yang bukan. Tindakan yang diskriminatif seperti ini akhirnya membuat setiap penanganan permukiman kumuh tidak pernah diselesaikan secara tuntas. Penggusuran paksa selalu menyisakan warga yang terlunta-lunta mencari tempat tinggal yang layak. Mereka umumnya belum memiliki KTP DKI Jakarta seperti juga banyak pendatang lainnya yang sudah lama tinggal dan bekerja di Jakarta. Dari beberapa kasus penggusuran terakhir di Kampung Pulo, Bukit Duri, Pinangsia dan Kalijodo masih ada ratusan keluarga yang tidak menentu nasib tempat tinggalnya hingga hari ini.
Dari sebuah publikasi yang diterbitkan oleh UN-Habitat (Global Report on Human Settlements: Challenges of Slums, 2003) menjelaskan bahwa tumbuhnya kantong-kantong permukiman kumuh adalah fenomena yang terjadi di seluruh kota-kota besar di negara-negara berkembang. Fenomena global ini terjadi akibat pengaruh industrialisasi dan urbanisasi yang cepat. Namun perbedaannya, negara-negara maju dan hampir maju telah mampu mengendalikan proses urbanisasi dengan baik. Sedangkan kota-kota yang selalu melakukan penggusuran paksa adalah ciri-ciri dari negara yang belum mampu mengelola urbanisasi dan pertumbuhan permukiman kumuh yang cepat.

Dengan demikian, pertanyaannya apakah tindakan diskriminatif seperti ini dapat dibenarkan? Dari literatur UN-Habitat tersebut, bisa dipahami bahwa pokok persoalannya bukanlah masalah administrasi kependudukan. Penanganan permukiman kumuh adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Warga yang tidak mampu ditangani pemerintah daerah harus jadi tanggung jawab pemerintah pusat. Tindakan diskriminatif dari pemerintah daerah tidak dapat dibenarkan begitu saja.

Tanggung Jawab Bersama Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

Tindakan diskriminatif Gubernur Ahok terhadap warga negara Indonesia dalam penanganan permukiman kumuh di Jakarta tidak boleh dibiarkan. Apalagi menara-menara rumah susun yang disediakan di Jakarta banyak yang menggunakan anggaran nasional melalui APBN Cipta Karya maupun Kementerian Perumahan Rakyat. Dalam menangani segala urusan warga masyarakat, termasuk dalam urusan perumahan dan permukiman, Pemerintah Daerah harus selalu bekerja sama dengan Pemerintah Pusat sehingga semua warga negara yang terdampak dapat ditangani secara tuntas.
Ketika permukiman kumuh telah tumbuh dan berkembang sejak lama di suatu daerah, pemerintah yang sekarang tidak bisa menyalahkan pemerintah periode sebelumnya. Pemerintah daerah juga tidak bisa begitu saja membiarkan warga negara yang belum memiliki KTP di daerahnya tidak tertangani. Pemerintah daerah berkewajiban bekerja sama untuk menangani masalah permukiman kumuh.

Di hadapan warga masyarakat, semua periode pemerintahan, semua tingkatan pemerintahan, dan semua lembaga pemerintah dari semua sektor adalah satu. Semuanya sama-sama pemerintah, yang berperan sebagai pelaksana negara di hadapan warga negara yang berdaulat. Tugas pemerintah adalah menggunakan kewenangan yang diberikan untuk mensejahterakan masyarakat, bukan justru menyengsarakannya.

Di tingkat pemerintah pusat, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Direktorat Jenderal Cipta Karya (DJ-CK) memiliki target untuk mencapai zero permukiman kumuh di tanah air pada tahun 2019. Begitu pula DJ Penyediaan Perumahan yang menargetkan untuk mengentaskan angka kekurangan rumah. Ada pula DJ Pembiayaan Perumahan, Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang, yang semuanya memiliki program yang banyak sekali dan sumberdaya anggaran hingga berpuluh-puluh triliun rupiah setiap tahunnya.

Semua program tersebut sangat terkait dengan bagaimana penanganan permukiman kumuh harus ditangani secara bersama-sama di Jakarta. Gubernur Ahok harus meminta bantuan kerja sama dengan Presiden RI untuk kemudian mengkoordinir kementerian-kementerian terkait. Presiden dan pemerintah pusat juga tidak bisa tinggal diam menyaksikan penggusuran paksa dengan kekerasan yang terus dipertontonkan. Sedangkan pada saat yang sama pemerintah pusat terus membelanjakan APBN berpuluh-puluh triliun setiap tahun untuk urusan perumahan, permukiman, pengembangan wilayah, pertanahan dan tata ruang.
Apakah strategi penggusuran paksa dengan kekerasan adalah pendekatan yang direkomendasikan DJ-CK dan DJ-PP dari Kementerian PUPR atau Kementerian ATR? Tampaknya tidak demikian. Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman pasal 81 disebutkan bahwa pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung-jawab melaksanakan pengendalian dalam penanganan kawasan permukiman.


Menikmati Sensasi Drama Penggusuran?

Penggusuran permukiman warga miskin kota yang dipimpin Gubernur Ahok selalu menimbulkan kepanikan di tengah masyarakat.  Sungguh mengherankan, mengapa Gubernur Ahok selalu gemar membuat penggusuran yang gaduh? Tampaknya Pak Gubernur dan jajarannya punya pemikiran jika dilakukan secara bertahap dan terencana maka penggusuran paksa tidak akan sukses. Penggusuran paksa hanya bisa sukses kalau dilakukan secara tiba-tiba, mengejutkan dan tidak memberi kesempatan warga untuk bersiap-siap. Meskipun harga yang harus dibayar adalah kehidupan keluarga-keluarga kaum misin kota yang hubar-habir tak menentu.

Apakah Gubernur Ahok memang menikmati sensasi dari setiap drama penggusuran?  Baginya mungkin jadi sensasi. Tapi bagi warga, penggusuran itu hanya membuat susah. Penggusuran demi penggusuran telah membuat warga masyarakat selalu diliputi rasa takut kalau-kalau rumahnya akan terkena giliran penggusuran. Kebijakan Gubernur Ahok seperti ini benar-benar sudah mengganggu keamanan bermukim (security of tenure). Padahal tugas pemerintah seharusnya menciptakan ketenangan dan keamanan bermukim di tengah-tengah masyarakat.


Menggusur Tanpa Rencana?

Pertanyaannya kemudian, mengapa tidak ada perencanaan dan program penanganan yang baik dalam menata permukiman kumuh di Jakarta? Mengapa tidak dipilih pendekatan yang dilakukan secara bertahap dan benar-benar dipersiapkan? Sepertinya penggusuran permukiman kumuh yang dipimpin Gubernur Ahok di banyak lokasi memang tidak disertai adanya rencana penataan kota yang baik. Meskipun harus mengacu pada RTRW dan RDTR, namun hanya mengandalkan rencana tata ruang saja tidaklah memadai.

Memang di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RTRW) DKI Jakarta 2030 sudah ada penetapan peruntukan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Namun peruntukan ruang hijau di dalam RTRW tidak bisa begitu saja diartikan Gubernur Ahok bisa sesukanya menggusur permukiman yang tidak sesuai peruntukan. Kalau hanya bermodalkan RTRW maka penggusuran bisa terjadi di mana saja dan kapan saja serta meneror siapa saja.


Keharusan Melibatkan Peran Masyarakat

Pasal 131 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menyebutkan bahwa penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan melibatkan peran masyarakat, dengan cara-cara: (1) memberikan masukan dalam penyusunan rencana, pelaksanaan pembangunan, pemanfaatan, pemeliharaan dan perbaikan, dan pengendalian penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, dan (2) membentuk forum pengembangan perumahan dan kawasan permukiman.

Berdasarkan Undang-undang 1/2011 tersebut, maka perencanaan penataan permukiman kumuh di Jakarta haruslah diselenggarakan secara partisipatif. Lokasi-lokasi permukiman kumuh mana saja yang ditetapkan menjadi prioritas penataan kota haruslah dibuat secara transparan. Pembuatan rencana penataan lokasi-lokasi permukiman kumuh tersebut haruslah pula melibatkan masyarakat secara partisipatif dan responsif.


Langkah-langkah Terobosan ke Depan

Rencana penataan kota tidak bisa dilakukan secara mendadak dengan hanya menggunakan alasan ketertiban semata. Justru kesalahan pemerintah adalah melakukan pembiaran sejak lama. Sebaiknya pemerintah segera menyusun program-program penataan kota yang baik untuk segera  disosialisasikan. Kawasan mana saja yang akan dilakukan tahun ini, mana untuk tahun depan, dan seterusnya. Sehingga warga kota bisa ikut berpartisipasi dan melakukan persiapan dalam waktu yang memadai. Dengan adanya sistem perencanaan yang transparan, penyediaan solusi yang sesuai dengan kebutuhan dan adanya persiapan-persiapan yang memadai maka penggusuran paksa dengan kekerasan seharusnya tidak perlu terjadi.

Untuk mencegah terjadinya penggusuran paksa, pemerintah dan berbagai pihak perlu terlebih dahulu melakukan pemetaan permukiman yang tidak sesuai dengan peruntukan. Seperti permukiman kumuh di bantaran sungai, bantaran rel kereta api, kolong jalan layang dan ruang-ruang marjinal kota lainnya yang rawan terhadap penggusuran. Selanjutnya dari hasil pemetaan tersebut Pemprov DKI harus menyusun prioritas penanganan yang segera dituangkan ke dalam program penataan kota yang terpadu dan komprehensif.

Di sisi lain, langkah-langkah persiapan juga harus segera dilakukan seperti menyediakan solusi-solusi perumahan yang memadai dan sifatnya tidak mengurangi kesejahteraan warga. Relokasi ke rumah susun sewa memang menjadi salah satu pilihan solusi, tapi bukanlah satu-satunya solusi. Bagi keluarga-keluarga kecil yang masih belum lama menetap dan sudah memiliki pekerjaan formal, maka solusi rumah susun sewa sangat menyenangkan. Namun bagi keluarga-keluarga besar yang manyandarkan pendapatan dari ekonomi informal dan sudah lama menetap maka tentunya unit 30 m2 di menara rusunawa bukanlah solusi yang tepat.

Untuk itu Pemprov DKI Jakarta bersama-sama Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang harus bekerja keras untuk mengembangkan solusi-solusi terobosan, baik dalam penyediaan lahan, pengembangan wilayah, maupun berbagai bentuk bantuan dalam proses pemukiman kembali. Masih ada pula solusi-solusi lain yang belum dikembangkan seperti perbaikan lingkungan, perumahan swadaya, rumah sosial maupun solusi hunian vertikal di lokasi penataan secara terbatas.


Gubernur Ahok Melanggar Undang-undang Republik Indonesia

Keharusan melibatkan peran serta masyarakat sudah jelas diatur di dalam Undang-undang sebagaimana disebutkan di dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman tersebut. Dengan demikian, jika Gubernur Ahok terus melanjutkan kegemarannya menggusur warga masyarakat miskin di Jakarta tanpa adanya upaya perencanaan bersama secara partisipatif, maka Gubernur Ahok sudah dengan nyata-nyata melanggar Undang-undang Republik Indonesia. Dengan demikian, pengadilan sebenarnya sudah memiliki dasar perturan yang cukup untuk memerintahkan penghentian aksi-aksi penggusuran oleh Pemprov DKI.

Kegemaran pemerintah pusat untuk menghabiskan anggaran negara yang terus diiringi dengan kemalasan pemerintah untuk mengembangkan solusi perumahan dan permukiman akhirnya harus dibayar oleh penderitaan warga masyarakat miskin kota yang terus dihantui rasa ketakutan dalam bermukim. Kondisi seperti ini harus segera dihentikan. Para aparat penegak hukum, baik dari Kepolisian RI, Kejaksaan Agung RI maupun aparat Hankam dari TNI harus berani memilih dan memilah. Apakah membela masyarakat atau hanya dijadikan alat pejabat yang gemar menggusur paksa warga miskin saja? Justru seharusnya aparat hukum berani bertindak menangkap para pejabat tersebut karena memang telah banyak sekali ditemukan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh para pejabat tersebut.


Bandung, 27 Februari 2016
Ir. Moh. Jehansyah Siregar, MT., Ph.D

Dosen KKPP, SAPPK-ITB