Rabu, 25 Oktober 2017

KPR Mikro Berpotensi Salah Sasaran dan Tidak Efektif


Dari berita ini Bu Dirjen Pembiayaan Perumahan bilang, masih ada sebagian besar masyarakat yang belum dapat mengakses pembiayaan rumah sederhana (KPR subsidi senilai +/-120 juta rupiah), khususnya pekerja informal dengan penghasilan tidak tetap. Contohnya pedagang kaki lima, tukang bakso, dll. Nah, lalu kemudian Pemerintah meluncurkan skema KPR Mikro dengan pinjaman maksimal 50 juta rupiah untuk membantu membangun rumah dengan pinjaman selama 5 tahun.
Tujuannya memang bagus, tapi programnya jelas salah kaprah! Ini sih program mirip pemodalan usaha kecil dan mikro, karena siapa saja individu yg memenuhi syarat (usaha kecil/mikro informal) datang ke loket dan dapat bantuan KPR Mikro. Lha, kok pembiayaan perumahan rakyat tidak berbasis kawasan begitu? Bagaimana jika yang meminjam itu nanti bangun rumah di bantaran sungai? Apa dasarnya mereka yang bekerja di sektor informal perkotaan harus memiliki rumah di kota? Dan oleh karenanya harus diberi kredit pemilikan rumah yang besarannya mikro? Tidak ada dasarnya. Banyak mereka itu kaum pendatang, bahkan sebagian lagi itu adalah penglaju.










Atasi Masalah Reklamasi, Presiden Harus Turun Tangan


Atasi Masalah Reklamasi, Presiden Harus 



Turun Tangan
Proyek reklamasi pulau G teluk Jakarta. (BeritaSatu Photo/Uthan A Rachim)
Oleh: Bhakti Hariani / JAS | Kamis, 19 Oktober 2017 | 12:20 WIB
Jakarta - Dosen Kelompok Keahlian Perumahan Permukiman Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SKPPK) Insititut Teknologi Bandung (ITB) Jehansyah Siregar menuturkan, akar masalah kasus reklamasi ini pada dasarnya adalah hilangnya kepercayaan atau trust dari masyarakat kepada pemerintah.
Hal ini terjadi karena langkah-langkah yang dilakukan hanya menempatkan pemerintah sebagai pemberi stempel rencana dan aksi-aksi pebisnis properti. Menurut Jehansyah, keadaan berpotensi semakin tidak menentu jika pemerintah pusat maupun Pemprov DKI Jakarta berjalan masing-masing. Dalam situasi seperti ini, solusinya tidak lain adalah langkah-langkah yang bisa mengembalikan kepercayaan atau trust tersebut.
"Bukan hanya mengembalikan kepercayaan melalui wacana, namun sekaligus juga menyelesaikan sengkarut dasar peraturan dan teknis reklamasi tersebut," kata Jehansyah kepada Suara Pembaruan, Kamis (19/10).
Jehansyah menuturkan, proses penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) maupun rencana tata ruang dan zonasi misalnya, harus menjadi bagian dari proses mengembalikan kepercayaan tersebut. Jika Pemerintah tiba-tiba mengatakan Amdal sudah selesai, tanpa forum terbuka, hal ini justru semakin meningkatkan rasa ketidakpercayaan warga ke pemerintah.
Proyek reklamasi atau tepatnya Penataan Pantai Utara Jakarta dan Sekitarnya, kata Jehansyah, adalah proyek strategis yang harus ditangani secara komprehensif, transparan dan objektif. Untuk itu Gubernur Jakarta bersama Presiden harus turun tangan.
"Bukan cuma Presiden membuat pernyataan dan merasa semua keruwetan bisa diatasi oleh Menko Kemaritiman melalui pendekatan kekuasaan," kata Jehansyah.
Presiden tidak bisa hanya mengandalkan langkah-langkah biasa maupun pendekatan kekuasaan. Apalagi jika mengabaikan peran Gubernur Jakarta.
Untuk mengatasi hal ini beberapa solusi yang dapat dilakukan menurut Jehansyah adalah, Presiden bersama Gubernur DKI Jakarta dapat membentuk Badan Penataan Pantai Utara Jakarta dan Sekitarnya (BP Pujas).
Badan ini bisa dikelola secara profesional maka hendaknya dipilih orang-orang yang sangat kapabel dan berintegritas tinggi untuk duduk di dalamnya. Badan ini nantinya perlu berkoordinasi dengan Pemprov DKI, Banten dan Jabar serta kementerian terkait lainnya.
"Jangan lupa utamakanlah proses dialog terbuka untuk menyelesaikan bermacam masalah yang kusut ini dengan didukung desain forum yang andal. Dialog ini perlu didesain dengan cermat melalui pendekatan perencanaan partisipatif," tutur Jehansyah.
Setidaknya, lanjut Jehansyah, ada satu kamar berisi Tim Pakar yang sangat kapabel dari berbagai disiplin. Satu kamar lagi adalah perwakilan dari para pihak. Segala keputusan yang dibuat oleh pemerintah haruslah didasarkan dari hasil kesepakatan forum dialog tersebut.
Jehansyah yang juga pengamat tata kota ini melanjutkan, perlu ditunjuk dan koordinasikan BUMN/ BUMD sebagai pelaksana penataan kawasan Pujas berdasarkan rencana yang ditetapkan Badan dan berkekuatan hukum. Baik rencana tata ruang hingga masterplan pembangunan.
"Semua pengembang properti yang terlibat hendaknya tidak ikut campur atau berusaha mempengaruhi. Mereka sebaiknya duduk manis menunggu saatnya dibuka kesempatan investasi properti di kawasan yang disediakan untuk fungsi itu," tutur Jehansyah.
Kalau Pemerintah (pusat maupun provinsi) tidak melakukan langkah-langkah yang objektif seperti ini, maka banyak kelompok kepentingan akan tetap menjalankan agendanya sendiri sendiri.
"Masalah bisa jadi semakin runyam, bahkan berpotensi menimbulkan konflik horisontal yang semakin luas. Pemerintah harus mampu meningkatkan peran dan kapasitasnya dalam mengelola pembangunan untuk kepentingan negara dan semua golongan," pungkas Jehansyah.


http://www.beritasatu.com/jakarta/458903-atasi-masalah-reklamasi-presiden-harus-turun-tangan.html


Jakarta Gubernur Baru dan Tantangannya


Masalah Jakarta itu sangat berat. RTH masih sekitar 10% dr kewajiban 30%. Kekurangan hunian layak sekitar 300 ribu unit ditambah kebutuhan sekitar 50 ribu tiap tahun akibat pertambahan penduduk. Kawasan kumuh sekitar 400 lokasi. Tingkat pelayanan air bersih dan sanitasi masih sekitar 50%. Daya angkut transportasi umum masih sekitar 600 ribu dari sekitar 5 juta perjalanan. Jadi..... bagaimana menyelesaikan semua itu hanya mengandalkan program-program printilan (piecemeal)? Apalagi kalo dikasih bonus ribut2? Bagaimana? Pemprov DKI bersama Pemerintah pusat harus merintis membangun sistem, tidak bisa tidak. Apa itu sistem? Sistem adalah sebuah skema penyelesaian masalah melalui langkah-langkah yang terencana dengan baik yang didukung oleh berbagai instrumen dalam hal ini terutama kapasitas dan sistem kelembagaan yang handal. (MJS @TVRI, 18 Okt 2017)

























Kompas Senin 25 September.
Kebijakan Pembiayaan Perumahan tambal sulam terus. Pemerintah tidak kunjung memiliki sistem pemupukan dana jangka panjang untuk Perumahan Rakyat.


























Minggu, 01 Oktober 2017

Evaluasi Program Kampung Deret di Jakarta

Program Kampung Deret yang dimulai pada masa awal jabatan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo pada tahun 2013 sempat mendapat sambutan yang luas dari masyarakat, terutama masyarakat golongan bawah di Jakarta. Ada harapan program ini akan berkembang menjadi program yang dinanti warga untuk menuntaskan permasalahan permukiman kumuh di Jakarta. Namun sangat disayangkan program ini akhirnya berhenti setahun kemudian yaitu sekitar tahun 2014, setelah Presiden Joko Widodo diangkat.
Penerus Gubernur Jokowi, Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok, tidak melanjutkan program Kampung Deret, karena tampaknya lebih memilih penyediaan rusunawa dan menggusur warga permukiman kumuh untuk direlokasi ke rumah susun. Adanya temuan BPK soal pelepasan aset tanah negara dan lemahnya dukungan DPRD dalam persetujuan anggaran subsidi diperkirakan sebagai faktor-faktor yang semakin kuat menghentikan program Kampung Deret. Namun begitu, program ini masih menyisakan beberapa pertanyaan. Jika program ini mendapat sambutan masyarakat, bukankah memang ada sesuatu dari program yang memberi harapan? Jikapun ada beberapa kendala teknis, bukankah sebaiknya dievaluasi?
Berdasarkan evaluasi melalui analisis media dan observasi singkat di lapangan, dapat diperoleh beberapa pokok persoalan yang menggambarkan bagaimana pelaksanaan program Kampung Deret di lapangan, sebagaimana diuraikan berikut ini.
1. Fokus untuk Menata Permukiman Kumuh Informal
Sudah banyak program penataan permukiman kumuh perkotaan yang dilaksanakan di Indonesia, namun belum ada yang secara efektif menangani permukiman kumuh informal (ilegal), terutama permukiman di atas tanah negara. Selama puluhan tahun permukiman kumuh informal selalu dipandang sebagai wujud ketidak-tertiban semata. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bahkan memberi status “negative list” untuk jenis permukiman ini. Artinya, ini jenis permukiman yang tidak sesuai dengan peruntukan tata ruang. Tidak sesuai aturan, negatif, titik. Akibatnya pemerintah kota cukup memberi label negatif untuk permukiman kumuh informal di ruang-ruang sisa kota, dan hanya bisa membiarkannya tumbuh dan berkembang secara tidak terencana.
Proyek Kampung Deret di Petogogan dan Tambora, Jakarta, keduanya berada di atas tanah negara dan bertujuan menata permukiman informal. Menata permukiman kumuh informal seharusnya memang dipandang sebagai prioritas pemerintah dalam program penataan permukiman. Hal ini karena warga permukiman informal mengalami ketidakpastian menghuni yang tinggi (insecurity of tenure) dan terbentuk dari proses pembangunan permukiman kota yang tidak terencana dengan baik.
Untuk bisa menata permukiman kumuh informal Pemerintah Daerah sebenarnya perlu mendapatkan dukungan dari Pemerintah Pusat. Hal ini karena diperlukan berbagai skema yang rumit seperti pemetaan sosial (bukan sensus seperti selama ini dilakukan setiap kali hendak menggusur), pengorganisasian pemukiman kembali (resettlement), hingga pengembangan area-area permukiman baru. Kemampuan-kemampuan ini seharusnya dimiliki oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Namun sayangnya belum ada model penataan permukiman kumuh informal secara komprehensif yang disiapkan Pemerintah Pusat selain daftar panjang proyek-proyek kecil senilai 1-2 milyar rupiah yang terfragmentasi secara sempurna hingga mata anggaran satuan 3.
2. Menata Permukiman Kumuh tanpa Menggusur.
Sebagai dampak dari pembiaran yang lama, tidak sedikit pemerintah kota yang akhirnya jatuh pada pilihan penggusuran untuk menangani permukiman kumuh informal. Namun pelaksanaan proyek Kampung Deret di Jakarta justru dijalankan dengan tanpa menggusur. Hal inilah yang menyebabkan program ini mendapat sambutan dari warga, khususnya di lokasi penataan tersebut. Kampung deret merupakan hunian yang dibangun tanpa melakukan relokasi dari daerah asal ke daerah yang jauh.
3. Pendekatan Pemberian Bantuan.
Adanya fokus manangani permukiman informal dan tujuan menata permukiman kumuh tanpa menggusur tidak lantas membawa program Kampung Deret otomatis berjalan dengan baik tanpa hambatan. Hambatan itu mulai dijumpai akibat pendekatan yang digunakan adalah pemberian bantuan aneka rupa. Mulai dari tanah negara yang akan diberikan kepada warga, bantuan tukang untuk pembangunan rumah dan biaya pembangunan rumah senilai sekitar 54 juta rupiah yang juga dihibahkan kepada warga penghuni. Pendekatan karitatif seperti ini akhirnya menuai berbagai kendala. Mulai dari temuan BPK mengenai kasus pelepasan aset (tanah) negara, kelembagaan yang tumpang tindih antara pusat dan daerah dan antar sektor, hingga akhirnya tidak disetujuinya anggaran program oleh DPRD DKI Jakarta.
Sedangkan di tengah masyarakat muncul isu adanya warga yang menjual rumahnya ke pihak lain. Isu ini menjadi isu yang menonjol karena status tanah yang sudah jelas sebagai milik warga penerima bantuan, kondisi rumah yang sudah bagus dan lingkungan yang sudah lebih tertata sehigga menyebabkan harga tanah dan bangunan meningkat. Pendekatan bantuan yang berakhir sebagai aset-aset individual menyebabkan kelemahan program kampung deret seiring dengan menonjolnya individualisme warga dan tidak terbangunnya komunitas warga. Lemahnya peran pemerintah pusat dalam pengorganisasian dan pendampingan warga secara berkelompok untuk membangun rumah swadaya, menyebabkan banyak warga yang bersikap sendiri-sendiri terhadap aset yang dihibahkan pemerintah kepada mereka.
Langkah ke Depan
Sebagai hasil evaluasi singkat tersebut, dapat disimpulkan agar ke depannya, program Kampung Deret ini masih tetap potensial untuk dilanjutkan dengan beberapa perbaikan. Arah kebijakan untuk menyasar permukiman kumuh informal (squatter settlements) dan pilihan kebijakan “menata tanpa menggusur” sudah menempatkan program ini langsung berada di jalur yang benar sejak awal. Satu-satunya kekurangan program ini adalah menggunakan pendekatan bantuan dan sangat lemah dalam mekanisme kelembagaan dan anggaran. Kekurangan pendekatan inilah yang kiranya perlu diperbaiki dan diganti dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat.
Pendekatan pemberdayaan masyarakat jika dikembangkan secara konsisten dan konsekwen akan berimplikasi luas pada fitur-fitur program yang lainnya. Hal pertama yang segera dikoreksi adalah mekanisme belanja proyek tahunan yang berorientasi pada proyek-proyek fisik semata. Pendekatan pemberdayaan masyarakat menempatkan ukuran-ukuran keberdayaan masyarakat sebagai yang utama. Sedangkan ukuran penyediaan proyek fisik hanya bersifat mendukung. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat memerlukan kapasitas yang berbeda dengan penyediaan fisik prasarana permukiman semata. Kapasitas pemberdayaan masyarakat permukiman inilah yang pertama kali harus disiapkan oleh pemerintah. Dan ini sifatnya khusus untuk permukiman. Bukan pemberdayaan masyarakat untuk pertanian, usaha kecil, kependudukan dan sebagainya yang berbeda pendekatan dan langkahnya.
Pemberdayaan masyarakat bermakna luas pula, karena pengertian masyarakat di sini bukan hanya komunitas warga yang dijadikan sasaran penataan. Namun juga kelompok masyarakat lainnya seperti LSM, Universitas, Dunia Usaha, Pemerintah Daerah dan kelompok lainnya yang memiliki perhatian dan kepedulian terhadap program penatan permukiman kumuh. Sedangkan komunitas warga permukiman ditempatkan sebagai subjek pembangunan dan semakin meningkat keberdayaannya melalui pembentukan jejaring komunitas antara satu komunitas di suatu tempat dengn komunitas lainnya di tempat lain pula.
Secara nyata, ada beberapa bentuk fasilitasi yang perlu diorganisir untuk memberdayakan komunitas warga, yaitu;
(1) Dukungan pengorganisasian kelompok warga, termasuk membentuk kelompok tabungan perumahan. Juga dukungan dalam mengembangkan jejaring komunitas dan jejaring para-pihak yang seiring dengan peningkatan kapasitasnya.
Adanya sistem inter-organisasi seperti ini akan memberi legitimasi formal kepada keberadaan kelompok-kelompok perumahan, sehingga menjadi tumpuan dalam mengakses berbagai dukungan lainnya.
Dengan demikian akan terbangun sebuah sistem kegiatan Rumah Swadaya Berbasis Kelompok yang tidak lagi dilihat sebagai kegiatan proyek fisik biasa.
(2) Dukungan mendapat akses ke tanah tanpa harus berstatus tanah milik. Adanya legitimasi kegiatan dan instrumen Rumah Swadaya berbasis kelompok menimbulkan justifikasi untuk memperoleh hak-hak pakai tanah. Baik tanah masyarakat, tanah adat maupun (dan terutama) tanah-tanah milik negara.
(3) Dukungan penyediaan prasarana permukiman yang memang menjadi kewajiban pemerintah,
(4) Dukungan pinjaman kredit mikro untuk membangun rumah dengan cicilan yang rendah dan berjangka panjang,
(5) Pemberdayaan sosial dan ekonomi kelompok warga.
Semua bentuk dukungan tersebut tidak ada satupun yang sifatnya memberi bantuan (karitatif) kepada warga sebagaimana program Kampung Deret yang lama. Hal ini tidak membebani ketersediaan dana dan aset pemerintah. Peran pemerintah harus dikembangkan sebagai PEMBERDAYA atau ENABLER , dan bukan lagi sebagai pemberi bantuan atau penyedia prasarana fisik semata.
Di dalam pelaksanaannya, berbagai skema peraturan, kelembagaan dan pembiayaan perlu terus dikembangkan untuk menjamin terjadinya pemberdayaan melaluli berbagi dukungan fasilitasi tersebut. Di sini sekali lagi sangat diperlukan peran pemerintah pusat. Urusan perumahan dan permukiman adalah urusan yang tergolong kongkuren di antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi dan Daerah. Artinya diperlukan pembagian peran yang harmonis dan sinergis, dimana peran Pemerintah Pusat haruslah mampu membina dan membuat model penanganan yang komprehensif untuk dilaksanakan dan dijadikan acuan bagi Pemerintah Daerah.
Inilah bentuk dari sistem penyediaan Rumah Swadaya Berbasis Kelompok yang menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat, yang perlu dikembangkan dalam rangka menata permukiman kumuh informal di kota-kota metropolitan dan kota-kota besar di Indonesia.
***

Kerjasama Rusunawa Salah Kaprah

Dalam rangka penyediaan rumah yang terjangkau, pembangunan rusunawa baik oleh pusat maupun daerah itu bagus saja. Tujuannya menambah affordable rental housing stock di Jakarta. Tapi pertanyaannya, kenapa harus DKI beli rusunawa yang dibangun Perumnas? Apa memang Perumnas itu kontraktor bangun-bangun rusunawa? Kalau kita lihat di Jepang, beribu-ribu menara danchi UR bertebaran di ratusan lokasi sekitar Tokyo, Osaka, Nagoya dan kota-kota besar lainnya. Begitu juga di Korea Selatan, tower-tower rusunawa KLHC bertebaran di sepanjang jalan Incheon menuju Seoul. UR dan KLHC itu Perumnasnya kedua negara tsb. Nah, kok di negeri ini mesti dibeli DKI (Pemda)?
Pertanyaannya untuk DKI, mau sampai berapa tunggakan sewa rusunawa nanti? Sekarang sudah 32 M. Bagaimana dengan yg 25 tower baru ini, apakah semakin membengkakkan subsidi dan tunggakan? Pertanyaan untuk Perumnas, kalau "nas" ya harusnya jadi aset nasional dan BMN (barang milik negara), kenapa dijadikan BMD? Apalagi kalau lokasi tanah HPL dan gedung BMN dari modal PMN (penyertaan modal negara)? Bukankah Perumnas juga harus menjalankan modal dan aset-asetnya agar bisa mengelola Rusunawa yang berkelanjutan secara korporasi yang berbeda dengan UPT (milik DKI)?
Kalau Perumnas jual rusunawa ke DKI, akibatnya Perumnas melepaskan aset2nya dan tidak kunjung membangun public housing delivery system yang berkelanjutan, serta DKI semakin membebani APBD nya dengan subsidi pengelolaan rusunawa. Tambahan lagi, potensi tunggakan sewa akan semakin membengkak.
Jadi maunya apa nih pejabat-pejabat? Pencitraan? Waduh !!!

------------------------------------------------------------

Pemprov DKI Gaet Perum Perumnas Sediakan Rusun untuk Warga

Mesha Mediani , CNN Indonesia | Sabtu, 09/09/2017 05:34 WIB

Jakarta, CNN Indonesia -- Gubenur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat menggaet Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas). Itu pun ditandatangani lewat perjanjian kerja sama, Jumat (8/9). 

Ruang lingkup kesepakatan tersebut adalah penyediaan rusunawa yang dibangun dan dikembangkan Perum Perumnas di atas lahan milik BUMN tersebut di wilayah DKI Jakarta.

Djarot menyebut kesepakatan kerjasama ini adalah bentuk mewujudkan program pemerintah bertajuk ‘Sejuta Rumah’.


"Programnya, di Jakarta kita harus banyak bangun rumah susun, bukan rumah tapak," ujar Djarot di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (8/9). 

Djarot menambahkan, untuk memfasilitasi warga Ibukota kurang mampu, maka ada pemerintah yang mensubsidi kebutuhan tempat tinggal mereka berupa rusun.

"Oleh karenanya, kami bekerjasama dengan Perum Perumnas, untuk membangun (rusun). Termasuk fasilitas yang kami miliki diintegrasikan untuk menampung pemukiman kumuh dan normalisasi sungai," kata Djarot.

Mantan Wali Kota Blitar tersebut mengatakan hingga saat ini Pemprov DKI belum bisa membangun perumahan warga berbentuk rumah tapak karena tidak tersedianya lahan.

"Kalau kita bangun perumahan yang tinggi dengan banyak tower, maka akan ada banyak ruang terbuka hijau," ujar Djarot.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Utama Perum Perumnas Bambang Triwibowo mengatakan pihaknya akan membangun enam tower rusunawa berisi 3.000 unit di kawasan Cengkareng, Jakarta Barat.

"Nanti itu kita bangun, spesifikasi, ukuran, dan lain-lain, kami pasti ngikuti apa yang disampaikan oleh pihak DKI. Nanti DKI dengan audit dari BPKP (badan pengawasan keuangan dan pembangunan) dan lainnya akan membeli," kata Bambang.

Meski demikian, Perum Perumnas terlebih dulu akan merevitalisasi rusun Klender, Jakarta Timur yang sudah berdiri 25 tower dengan 8.000 unit. Rusun tersebut dinilai sudah tidak layak huni sejak dibangun tahun 1980.

"Sekarang kami sedang persiapkan detail desain, kemudian kami kan mengikuti aturan TOR (kerangka acuan kerja) DKI, IMB (izin mendirikan bangunan), AMDAL, perizinannya bagaimana. Nanti begitu ini selesai, ya kita segera (revitalisasi)," kata Bambang.








SALAH SASARAN

"Backlog" Rumah Masih Tinggi, Pemerintah Dituding Salah Sasaran

DANI PRABOWO
Kompas.com - 13/09/2017, 18:32 WIB
JAKARTA, KompasProperti - Meski pemerintah tengah gencar merealisasikan Program Pembangunan Nasional Sejuta Rumah, namun angka kebutuhan rumah yang belum terpenuhi atau backlogmasih tetap saja tinggi.
Hal tersebut diduga lantaran pemerintah salah dalam menetapkan target peruntukan pembangunan rumah, rumah susun (rusun), atau pun rumah susun sewa (rusunawa).
Dosen Kelompok Keahlian Perumahan Permukiman Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SKPPK) Institut Teknologi Bandung (ITB), Jehansyah Siregar, mengatakan, banyak apartemen yang dibangun pemerintah justru tidak diperuntukkan bagi masyarakat yang memang benar-benar belum memiliki hunian.
"Contoh yang salah sasaran adalah bangun apartemen murah atau rusunawa untuk pesantren, rusunawa untuk polisi, rusunawa untuk universitas dan sebagainya," kata dia kepada KompasProperti, Rabu (13/9/2017).
Pengkhususan itu terjadi, lantaran apartemen atau rusunawa didirikan di atas lahan milik kepolisian, pesantren atau universitas. Pada gilirannya, ada pengkhususan bagi mereka yang tinggal di sana.
Selain itu, Jehansyah menambahkan, tak jarang pengembang swasta yang hendak menyediakan hunian terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), dihadapkan pada perizinan yang sulit di tingkat daerah.
Tentu saja ini kontradiktif, dan bertentangan dengan upaya pemerintah pusat yang ingin agar proses perizinan berjalan cepat, sehingga angka backlog yang kini telah mencapai 11,4 juta unit dapat berkurang.
Advertisment
"Pembangunan perumahan kita itu tidak terencana dengan baik. Di satu sisi mendorong swasta di depan, namun di sisi lain justru membuka ruang perizinan," kata dia.
Sementara itu, Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Syarif Burhanuddin mengatakan, dari 11,4 juta angka backlog, 20 persen di antaranya tergolong ke dalam jajaran rumah komersial yang tidak memerlukan subsidi.
Sedangkan, 20 persen lainnya tergolong ke dalam kelompok bawah yang membutuhkan bantuan sosial dari pemerintah. Pasalnya, meskipun sudah diberi kemudahan fasilitas kredit, mereka tidak mampu membeli rumah.
"60 persen sisanya merupakan kalangan menengah yang memerlukan bantuan subsidi," kata Syarif saat talkshow BTN Golden Property Awards di Hotel Raffles Jakarta, Senin (11/9/2017).
Pemerintah, kata dia, berharap agar pengembang swasta dapat turut membantu dalam menyediakan rumah yang harganya terjangkau bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. 
Sebelumnya diberitakan, Chairman Lippo Group James Riady meminta pemerintah untuk memberikan kepastian dalam hal perizinan. Pengusaha, kata dia, cenderung ingin berbisnis tanpa rasa khawatir memikirkan perizinan yang seringkali tidak pasti.
"Mengenai perizinan itu (mengurus) bisa 5 tahun, bisa 10 tahun," kata James.
http://properti.kompas.com/read/2017/09/13/183244521/backlog-rumah-masih-tinggi-pemerintah-dituding-salah-sasaran

NEGOSIASI PERIZINAN

Swasta Bangun Rumah Rakyat Tumbuhkan Praktik Negosiasi Perizinan
DANI PRABOWO
Kompas.com - 13/09/2017, 13:03 WIB
JAKARTA, KompasProperti - Pemerintah pusat selama ini terus mendorong pengembang swasta untuk turut berperan aktif dalam menyediakan perumahan. Pasalnya, angka kebutuhan rumah yang belum terpenuhi atau backlog masih tinggi yaitu 11,4 juta unit.
Kendati demikian, keinginan tersebut tidak disertai dengan implementasi kebijakan yang baik, sebagaimana dikeluhkan Chairman Lippo Group James Riady saat talksho BTN Golden Property Award, Senin (11/9/2017).
Baca: Bos Lippo Minta Pemerintah Jamin Kepastian Perizinan
Meski regulasi untuk mempercepat proses perizinan itu sudah ada, namun di tingkat eksekutor di daerah justru masih dipersulit.
"Pembangunan perumahan kita tidak terencana dengan baik. Di satu sisi mendorong swasta di depan, namun di sisi lain justru membuka negosiasi ruang perizinan," kata Dosen Kelompok Keahlian Perumahan Permukiman Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SKPPK) Institut Teknologi Bandung (ITB), Jehansyah Siregar kepada KompasProperti, Rabu (13/9/2017).
Ada beragam perizinan yang harus dikantongi pengembang sebelum akhirnya mereka dapat membangun rumah, mulai dari izin prinsip, izin lokasi, hingga sertifikat laik fungsi.
Dalam setiap izin yang harus dikantongi, juga terdapat izin-izin lain yang harus terpenuhi.
Izin prinsip, misalnya, harus dijelaskan secara detail lahan akan diperuntukkan sebagai apa, rencana intensitas, berapa banyak hunian yang akan dibangun dan sebagainya.
"Baru nanti izin lokasi, dan ini panjang lagi. Mulai dari melihat kesesuaian lahan, sesuai enggak untuk lahan perumahan. Dan perlu diketahui, tidak semua zona residensial yang berwarna kuning itu sesuai untuk perumahan," papar Jehansyah.
Banyak serta lamanya proses perizinan yang harus diurus pengembang, menurut dia, menjadi preseden buruk bagi pemerintah di dalam program penyediaan perumahan.
Di satu sisi ada kebutuhan perumahan yang harus dipenuhi, namun di sisi lain ada kesulitan yang harus dihadapi pengembang dalam mendapatkan izin-izin tersebut.
"Mekanisme ini yang pada akhirnya membuka ruang negosiasi. Inilah pilihan kebijakan perumahan kita. Jadi jangan heran, ada proses yang berjalan mulus dan ada yang tidak. Karena ini berada di ruang negosiasi," tambahnya.
Sebelumnya diberitakan, James Riady mengungkapkan, investor yang ingin berbisnis di Indonesia membutuhkan kepastian dari pemerintah, terutama dalam hal perizinan.
Pengusaha cenderung ingin berbisnis tanpa rasa khawatir memikirkan perizinan yang seringkali tidak pasti.
"Mengenai perizinan itu (mengurus) bisa 5 tahun, bisa 10 tahun," kata James.
Penulis Dani Prabowo
Editor Hilda B Alexander

MAKRO PRUDENSIAL

Sekali lagi kemarin (20 September 2017) saya diundang Departemen Makro Prudensial Bank Indonesia untuk berbicara mengenai perkembangan dunia properti di tanah air. Jika sebelumnya masih berbicara bagaimana efektivitas kebijakan LTV (loan to value, proporsi uang muka dan pinjaman), kini akan ada konsep baru yang namanya LTV spasial.
Jika sebelumnya LTV mengatur untuk rumah pertama dan rumah kedua, dsb, LTV spasial ingin mengatur proporsi DP pinjaman berdasarkan zonasi. Namun tampaknya belum ada konsep yang matang untuk diterapkan oleh BI agar bisa diterima berbagai pihak dan lintas bidang.
Beberapa catatan saya:
Spekulasi properti yang tidak terkendali di daerah perkotaan sebenarnya tidak beda dengan tumbuh-kembangnya pemukiman padat dan kumuh. Keduanya sama-sama dipicu oleh absennya negara di dalam mengelola urbanisasi sehingga tidak ada sistem dan perencanaan yang terarah. Semua serba spontan dan sporadis. Sebenarnya ini tidak mengapa asal everybody happy. Semua boleh menyerobot dan semua boleh spekulasi. Toh wilayah Indonesia ini luas sekali. Dampaknya paling-paling hanya inefisiensi. Tapi jangan ada penggusuran dan jangan ada pengetatan atau larangan spekulasi. Selama pemerintah malas membangun sistem dan everybody happy, no problemo.
Sampai suatu ketika alarm itu berbunyi. Semua kesemrawutan ini sudah cukup! Maka dari itu jika negara ingin hadir maka hadirlah secara seksama. Kalau upaya penataan permukiman kumuh jangan sampai melanggar hak asasi manusia di dalam bertempat tinggal, maka upaya pengendalian spekulasi yang salah satunya melalui LTV bertujuan sebagai countercyclical agar jangan sampai terjadi krisis moneter.

KLAIM SEJUTA RUMAH YANG MENYESATKAN

Di dalam Rilis Kementerian PUPR (29 September 2017) disebutkan bahwa capaian Program Satu Juta Rumah hingga September 2017 sudah mencapai 623.344 unit, terdiri dari rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) 518.694 unit dan Non MBR 104.650 unit. Disebutkan bahwa sejak Program Satu Juta Rumah mulai dicanangkan pada 29 April 2015, jumlah rumah yang berhasil dibangun terus meningkat setiap tahun.
Angka pencapaian tersebut seolah sudah menjawab masalah kekurangan rumah (housing backlog). Padahal pada saat yang sama, beragam masalah perumahan rakyat tetap bermunculan. Penggusuran di rumah negara maupun permukiman kumuh, konflik antara penghuni dan pengelola apartemen, harga rumah sederhana yang semakin tak terjangkau golongan bawah, maupun masalah klasik para penglaju yang dilematis menemukan hunian layak di kota. Jadi sungguh mengherankan, di tengah ragam masalah hunian yang tetap ada itu, dan belum dijumpainya program yang efektif, dari mana datangnya angka tersebut?
Pertama-tama, angka pembangunan rumah Non-MBR 104.650 unit ini datang dari praktek bisnis properti yang dijalankan pengembang tanpa subsidi. Angka ini tentu tidak bisa diklaim sebagai program pemerintah di bidang perumahan rakyat. Pengembang berbisnis dengan mengikuti berbagai prosedur penataan ruang dan peraturan bangunan di daerah. Tanpa adanya program perumahan rakyat toh bisnis properti dan pembiayaan KPR tetap berjalan. Jadi angka 104.650 unit harus dikeluarkan dari kinerja capaian perumahan rakyat.
Lalu dari mana pulak angka 518.694 unit tersebut? Tentunya ini datang dari proyek-proyek dalam program sejuta rumah. Misalnya proyek bantuan bedah rumah, penyediaan prasarana umum, pembangunan rumah sederhana, maupun pembangunan blok-blok Rusunawa. Pertanyaannya, apakah proyek-proyek fisik seperti ini bisa diklaim efektif mengurangi housing backlog? Bagaimana mungkin proyek bedah rumah yang hanya kasih bantuan perbaikan sebagian rumah bisa dihitung ke dalam penyediaan 1 unit rumah? Bagaimana ceritanya blok-blok rusunawa untuk prajurit, santri dan mahasiswa dipakai untuk mengklaim penyediaan rumah-rumah keluarga MBR perkotaan? Sedangkan bantuan prasarana juga hanya memberi bantuan jalan kecil dan saluran kecil, sehingga sulit dinilai sebagai penyediaan unit-unit rumah.
Pencapaian target yang efektif setiap tahun diperkirakan masih di bawah 100 ribu unit. Hal ini karena target sejuta rumah harus benar-benar dihitung sebagai penyediaan unit hunian yang utuh dan efektif mengenai sasaran. Jadi angka 518.694 unit tersebut harus dikoreksi total dan dikurangi hasil-hasil yang tidak lengkap sebagai satu unit rumah dan tidak efektif mencapai sasaran.
Tampaknya program sejuta rumah yang ada sekarang memang tidak berkorelasi untuk menjawab kebutuhan hunian rakyat secara efektif. Jika pemerintah terus mengklaim dan menggunakan indikator yang tidak tepat seperti ini pantas saja masalah perumahan rakyat tetap ada. Anggaran pembangunan bepuluh triliun dihabiskan namun masalah perumahan rakyat tak berkurang.
Lalu apa manfaat program sejuta rumah kalau hanya berisi klaim-klaim target? Toh masalah hunian rakyat tak berkurang, dan penyediaan hunian oleh masyarakat pada dasarnya tetap berlangsung? Tanpa program sejuta rumah para pemilik tanah tetap membangun rumah petak dan menyewakannya. Keluarga muda mencari kontrakan dan para orang tua membantu uang muka rumah anaknya. Sedangkan Bank Indonesia menjaga stabilitas moneter untuk menjamin berlangsungnya pembiayaan KPR yang sangat membantu pemilikan rumah. Jadi, tanpa program sejuta rumah pun semua itu tetap berlangsung.
Lantas, apakah konsep program dan klaim-klaim seperti itu mau tetap dipertahankan? Inilah tantangan yang harus dijawab oleh pemerintah melalui program-program yang efektif dan memupuk sistem penyediaan yang semakin kuat. Program yang disusun seharusnya memberi perhatian pada penguatan sektor publik dan sektor masyarakat. Bukan cuma proyek-proyek yang tidak efektif atau malah memfasilitasi sektor bisnis properti. Bisnis properti tidak perlu difasilitasi bidang perumahan rakyat, karena sudah bisa berjalan dalam koridor pembangunan wilayah dan penataan ruang.
Belajar dari negara-negara yang sudah maju perumahan rakyat dan pembangunan kotanya, program perumahan rakyat memang hanya bertumpu pada dua bidang program, yaitu public housing (rusunawa) dan self-help housing (rumah swadaya non-bansos). Melalui kedua program ini maka kinerja penyediaan unit-unit rumah akan lebih terukur dan tepat sasaran. Kemudian program bisa disusun secara terencana dalam peta jalan menuju rumah layak untuk seluruh rakyat.
Janganlah lagi masyarakat disuguhi program bodong dan akrobat klaim-klaim keberhasilan yang memalukan. Indonesia harus segera berbenah dalam pembangunan perumahan rakyat dan menciptakan lingkungan kota-kota yang berkelanjutan untuk semua golongan.
***